Keguruan dan Pendidikan

Oleh L.N. Firdaus

 

Era disruptif membawa cabaran baru dalam dunia keguruan dan pendidikan. Guru mesti lincah beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan awas meneroka tren pendidikan yang lekas berubah arah.

Pertanyaan mengenai perbedaan antara keguruan dan pendidikan seringkali menghasilkan keraguan dan kebingungan, meski sudah berpuluh-puluh tahun menjadi guru (teacher) dan pendidik (educator). Meskipun keduanya saling berkaitan, keduanya memiliki hakikat dan dimensi yang berbeda.

Keguruan dan pendidikan memiliki peran yang tak tergantikan dalam membentuk karakter dan kualitas manusia. Keduanya saling terkait dan menjadi fondasi utama dalam menciptakan generasi yang cerdas, berwawasan luas, dan bertanggung jawab.

Keguruan mencakup aspek yang lebih spesifik, menitikberatkan pada proses pengajaran dan pembimbingan siswa oleh seorang guru.

Dalam “The Art of Teaching” karya Gilbert Highet, keguruan digambarkan sebagai seni yang melibatkan pemberian inspirasi, motivasi, dan bimbingan kepada siswa. Keguruan berfokus pada implementasi strategi pengajaran yang efektif, kemampuan mengelola kelas, dan kepekaan terhadap kebutuhan individual siswa.

Keguruan bukan hanya sekadar mentransfer pengetahuan kepada siswa. Keguruan lebih dari semua itu. Guru yang bermutu dapat menjadi panutan yang memberikan inspirasi kepada siswanya. Dengan memahami kebutuhan dan potensi setiap siswa, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk perkembangan intelektual dan emosional peserta didik.

Di sisi lain, pendidikan melibatkan proses pembentukan manusia secara holistik. Dalam pandangan John Dewey, pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengembangan karakter, moral, dan keterampilan hidup. Pendidikan mencakup seluruh proses yang membentuk individu menjadi anggota masyarakat yang berpikir kritis, kreatif, dan berkontribusi positif.

Pendidikan bukan sekadar proses menghafal fakta dan angka, melainkan pembentukan pola pikir kritis dan kreatif. Pendidikan yang baik memberikan siswa keterampilan hidup, pemahaman akan nilai-nilai moral, dan pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman. Sebuah sistem pendidikan yang efektif harus mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki etika dan moralitas yang kuat.

Untuk memahami perbedaan hakiki antara keguruan dan pendidikan, kita dapat merujuk pada pemikiran filosofis terkemuka dalam bidang ini. Misalnya, karya-karya Plato dan Aristoteles memberikan pandangan mendalam mengenai tujuan pendidikan dan peran guru dalam membentuk karakter individu.

Dengan merenungkan gagasan-gagasan filosofis ini, kita dapat melihat bagaimana hakikat keguruan dan pendidikan berakar pada pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia dan masyarakat.

Dalam era post digital, tantangan pendidikan semakin kompleks dengan munculnya teknologi dan perubahan sosial. Guru tidak hanya harus menjadi fasilitator pembelajaran, tetapi juga pandai mengelola dinamika sosial dan kultural dalam kelas.

Pendidikan harus bersifat inklusif, mengakomodasi keberagaman siswa, dan mendorong pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Suksesnya pendidikan tidak hanya bergantung pada guru di kelas, tetapi juga melibatkan peran orang tua dan dukungan masyarakat.

Kemitraan yang kuat antara ketiga pihak ini dapat menciptakan lingkungan belajar yang holistik dan mendukung perkembangan optimal siswa. Dukungan orang tua dan partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam membentuk sikap positif terhadap pendidikan.

Walhal, keguruan itu sejatinya adalah “learning to Do”.  Sedangkan pendidikan ialah “learning to Be”. Keguruan dan pendidikan bukanlah konsep yang dapat dipisahkan sepenuhnya, tetapi memiliki perbedaan hakiki. Dengan menggali referensi filosofis dan melihat tantangan kontemporer, kita dapat membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang bagaimana kedua aspek ini berinteraksi untuk membentuk manusia dan masyarakat yang cerdas dan beradab. ***