Transformasi Budaya Korporat

By L.N. Firdaus

Postingan saya sebelumnya tentang Universitas Korporat (15/6) ada menyinggung soal belenggu (old culture) yang kuat menahan ikhtiar  setiap organisasi dalam melakukan perubahan. Bagaimana melonggarkan belenggu karatan itu agar transformasi Universitas Korporat (UK) dapat diinisiasi?

Transformasi menjadi UK termasuk perubahan yang strategis. Perubahan strategis itu meliputi perubahan budaya dan nilai-nilai dasar, perubahan arah/fokus bisnis, dan perubahan cara kerja (Kasali, 2005), bersifat perubahan besar, fundamental, berdampak luas, dan memerlukan koordinasi dan dukungan unit-unit terkait atau bahkan seluruh komponen. Sedangkan perubahan operasional adalah perubahan kecil yang bersifat parsial dan tidak menimbulkan dampak luar biasa.

Mencermati filosofi, dimensi, fungsi, dan tujuan dari UK, maka perubahan dari BPSDM menuju UK  harus menempuh jalur perubahan transformatif. Perubahan transformatif selalu bersifat strategik dan fundamental (Herry Thahjono, 2012), dan menghadapi risiko disintegrasi (Djokosantoso Moeljono, 2005). Disintegrasi itu disebabkan karena adanya perubahan paradigma. Perubahan paradigma merupakan kekuatan esensial dari sebuah perubahan besar (Covey, 1997), baik prosesnya seketika atau pun lambat dan hati-hati.

Aribowo Prijosaksono & Marlan Mardianto (2005) memaknai transformasi sebagai proses pembentukan pola pikir, sikap, dan perilaku untuk membangun karakter manusia baru yang memiliki nilai tambah bagi dirinya, keluarga, organisasi, bangsa dan Negara, bahkan terkhusus bagi Tuhan. Untuk mencegah atau meminimalisir peluang terjadinya disintegrasi dalam sebuah proses transisi menuju perubahan, sebuah proses transformasi harus memperhitungkan dua elemen vital, yaitu kepemimpinan dan budaya organisasi, baik konteks pribadi maupun organisasi (Djokosantoso Moeljono, 2005)

Organisasi atau perusahaan tidak bisa melakukan tranformasi.  Hanya manusia yang bisa melakukannya (Herry Thahjono, 2012).  Mengubah  kultur pribadi maupun kultur organisasi hakikatnya adalah mengubah cara pribadi dan organisasi itu dalam belajar. Jadi, kemampuan belajar merupakan kata kunci keberhasilan transformasi menuju UK. Belajar adalah berfikir. Berfikir membuat kita menjadi kreatif. Kreativitas menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan akan membuat kita menjadi besar (great). Pembelajaran adalah akar dari disiplin dan Inovasi. Tanpa pembelajaran semua itu tidak mungkin.

Nilai budaya adalah inti dari perilaku manusia yang menentukan perilaku organisasi. Karena itu, keunggulan kompetitif yang menjadi tujuan utama UK tidak akan pernah berhasil dirajut tanpa disiplin dalam belajar. Basis dari perubahan budaya adalah pembelajaran, bukan pelatihan (Djokosantoso Moeljono, 2005). Dengan demikian,  untuk menghasilkan sumber daya manusia  yang profesional dengan berintegritas dan talenta tinggi, dibutuhkan budaya organisasi yang kuat.

Transformasi menuju atau menjadi UK tidak bisa keluar dari jalur  transformasi kultural. Transformasi kultural secara sederhana menyangkut tentang bagaimana mengubah cara- cara kita melakukan sesuatu di sekeliling kita (Leaders Quest, 2018). Transformasi kultural harus mulai dari transformasi pribadi para pemimpin (Korsakova et al., 2016). Karena itu diperlukan sensitivitas kultural dari dalam organisasi untuk selalu siap menyempurnakan budayanya sehingga tidak hanya sekedar adaptif, melainkan harus  proaktif.

Perubahan nilai-nilai atau norma-normal ini membutuhkan dukungan semua pihak dan butuh waktu relatif lama. Keberhasilan transformasi menjadi UKditentukan oleh efektivitas reaktor transformatif modal insan melalui siklus pembelajaran sepanjang hayat pada empat elemen kunci UK, yaitu orang, pembelajaran, sistem & pengetahuan, networking dan partnership.

Kinerja reaktor itu harus dikendalikan oleh seorang pemimpin puncak (top leader) yang memahami dan mempraktikkan kepemimpinan transformatif berbasis kultural, yaitu dengan cara menyelaraskan nilai-nilai budaya korporat yang telah ada dengan nilai-nilai budaya baru yang akan dikembangkan (new culture).

Nilai-nilai budaya baru yang akan diselaraskan itu sebaiknya berpaksi pada kearifan lokal masing-masing daerah di seluruh Indonesia. Pembangunan yang mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan bermasalah karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial kultural; yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat tersebut.

Kearifan lokal setiap daerah akan menjadi modal dasar untuk membangun keunggulan kompetitif  (nilai tambah keunikan) setiap daerah. Nilai strategis  dari kearifan lokal itu  terkait pada fungsinya sebagai perekat simpul jaring pertahanan terhadap gempuran nilai-nilai budaya asing yang kian dahsyat menyerbu dan memutuskan simpul-simpul jati diri setiap organisasi maupun perusahaan.

UK sesungguhnya adalah entitas yang digerakkan oleh nilai-nilai (values-driven organization).  Untuk membentuk organisasi atau perusahaan yang digerakkan oleh nilai-nilai, yang pertama sekali diperlukan adalah komitmen kepemimpinan.Jika pemimpin tidak mau dan tidak mampu memberi teladan dalam mengamalkan  nilai-nilai baru yang diinginkan (new power), maka tidak akan ada anggota organisasi atau perusahaan yang bergerak dan menyelesaikan sebuah agenda perubahan strategis-transformatif. ***