Mengasah Pikiran dan Perasaan

By L.N. Firdaus

 

“Yang dinamakan Pendidikan itu adalah tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya Pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.” – Ki Hadjar Dewantara (1977: 20)

 

Syahdan, Dr Saberina@Kolega dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau wrote on January 21, 2022@WAG LPPM Vol 1:

 “Menjemput @L.N. Firdaus untuk menulis dan menshare di grup WA kita ini…. Pendidikan itu Mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan …. “

Pertanyaan tingkat tinggi yang mendasar ini sebetulnya sudah diberikan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagaimana  saya kutipkan di atas.

Secara Ontologis, hakikatnya pendidikan itu adalah memanusiakan manusia. Fitrah kemanusiaan anak didik sudah terberi oleh Tuhan dalam wujud tiga potensi: cipta (pikiran), karsa (psikis/rasa/), dan raga (fisik).

Secara epistemologis-yuridis, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, Ayat (1):

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”

Perihal mengasah pikiran sudah saya ulas selayang pandang di https://www.lamanriau.com/2022/01/23/batu-asah/

Selebihnya tinggal refleksi diri atas praktik pembelajaran yang kita amalkan. Apakah pembelajaran yang kita aktualisasikan mampu membangkitkan suasana belajar dan proses pembelajaran” yang mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan mereka?. Apakah pertanyaan-pertanyaan (questions) yang kita ajukan kepada Mahasiswa mampu mengasah daya kritis dan memperhalus perasaan akal budi?

Pertanyaan dangkal (shallow question) rasa-rasanya sukar menghasilkan mahasiswa HOT (High Order Thinking) sebagi pisau berfikir kritis keterampilan Abad 21. Pertanyaan dangkal hanya berpotensi menghasilkan lulusan dengan bekal pisau berfikir tidak kritis alias tumpul. Hanya berguna untuk mengupas persoalaan sederhana (simple problem) di “Universitas Kematian”.

Ianya kurang berdaya guna untuk menghadapi persoalan rumit (complex problems) di “Universitas Kehidupan” yang bersifat VUCA (Volatile, Uncertainty, Complex, Ambigue). Inilah agaknya rasional kebijakan MBKM yang menggalakkan pembelajaran Case-based Method dan Problem-based Learning untuk menantang Mahasiswa dan Dosen berfikir tingkat tinggi dan mendalam itu.

Ada juga Dosen yang berdalih bahwa boro-boro mengajukan Pertanyaan Dalam (deep questions). Pertanyaan dangkal saja sukar dijawab mahasiswa. Bahkan lebih sering mahasiswa diam seribu Bahasa macam asbak atau batu dilempar ke kolam depan Rektorat.  Senyap tak menjawab. Entah paham atau kah tidak.

Namun perlu juga kita mawas diri. Jangan-jangan kita yang kurang terampil membuat dan menyampaikan pertanyaan tingkat tinggi itu. Untuk menghasilkan pertanyaan tingkat tinggi, kita harus berfikir mendalam (deep thinking). Ini yang menguras energi. Sementara energi kita sudah banyak terkuras oleh tuntutan “syahwat” administarif  Tri Dharma Perguruan Tinggi yang semakin menjadi-jadi.

Pada tataran praktis-implementatif (pembelajaran), “usaha sadar dan terencana” itu sudah kita wujudkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang saban semester kita mutakhirkan. Fundamental masalahnya adalah sejauhmana RPP yang sudah dengan susah payah dibuat itu diaktualisasikan dalam  proses pembelajaran”Sudahkah Pendekatan, Model, Strategi, Metode, Teknik, dan Taktik/Kiat yang kita pakai itu betul-betul berorientasi memberdayakan “peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya?”.

Soal memperhalus perasaan? Praksis Pendidikan yang diwujudkan melalui Pengajaran (teaching) lebih mengarah kepada pilar Learning to Know dan Learning to Do.  Untuk memperhalus perasaan, kegiatan mengajar harus lebih menekankan kegiatan mendidik (scholarship of teaching and learning) yang mengarah pada  Leaning to Be dan Learning to Live Together.

Apakah nilai-nilai didikan yang kita tanamkan berhasil membuka minda (mind), hati (heart), nurani (will) sehingga peserta didik “secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”?

Spiritualisasi pembelajaran agaknya amat dibutuhkan agar nilai-nilai Pendidikan (values) yang ditanamkan dapat memperhalus perasaan peserta didik. Tanpa itu, suasana pembelajaran amat lah gersang-kering kerontang,  miskin makna alias kurang berkesan. Yudi Latif (2020) memandang krusialnya Learning to Feel (olah Rasa dan olah Karsa) sebagai pilar emas Ki Hajar Dewantara untuk menyempurnakan empat pilar Pendidikan UNESCO.

Prof. Muhammad NUH (2013) memandang semakin mendesaknya Pedagogi Hati dan Budi Pekerti dalam menyikapi fenomena kegersangan dan kemusyrikan sosial yang semakin memilukan hati. Kegersangan sosial terjadi akibat ketidakseimbangan antara pengembangan kecerdasan akal dan kecerdasan hati.

Hati adalah lokus reaktor transformatif anak didik menjadi manusiawi. Hati adalah umm (Ibu) dari segala kebahagiaan hidup sekaligus menjadi pangkal malapetaka bagi kehidupan manusia. Maka, benarlah tulisan pada Pelakat yang saya peroleh di Pasar Barang Bekas : “A Teacher Takes a Hand, Opens a Mind and Touches A Heart”

Demikianlah  Dr Saberina. Terima kasih telah menajamkan pikiran dan menghaluskan akal budi saya melalui pertanyaan bermutu yang diajukan. Tajamkan jika dirasa masih tumpul.  Haluskan jika dirasa masih kasar.

Schooling Fish dan Schooling students sama-sama digerakkan oleh  hati bukan?

Wallahualam….