Revitalisasi Otonomi Perguruan Tinggi
By L.N. Firdaus
Otonomi perguruan tinggi kembali menjadi isu sentral yang diusung kementerian pendidikan tinggi, sains, dan teknologi dalam Kabinet Merah Putih.
Implementasi kebijakan otonomi perguruan tinggi selama ini berjalan setengah hati, serupa meski tak sama dan sebangun dengan implementasi kebijakan otonomi daerah.
Otonomi perguruan tinggi secara filosofis mengacu pada kebebasan institusi pendidikan tinggi untuk mengelola dirinya sendiri tanpa campur tangan berlebihan dari pihak eksternal.
Dalam pandangan Immanuel Kant, otonomi dapat dikaitkan dengan konsep kebebasan dan kemandirian rasional. Perguruan tinggi yang otonom memiliki kapasitas untuk menentukan arah kebijakan akademik, penelitian, dan administrasi dengan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Dalam perspektif eksistensialisme Jean-Paul Sartre, otonomi juga mencerminkan kebebasan kreatif untuk menentukan esensi keberadaan. Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai wadah pengembangan identitas intelektual yang unik.
Berpijak pada teras pemikiran tersebut, nampaknya upaya revitalisasi otonomi perguruan tinggi akan menghadirkan tantangan filosofis yang signifikan. Salah satu dilema utama adalah keseimbangan antara kebebasan institusi dan akuntabilitas publik.
Dalam kerangka teori keadilan John Rawls, kebijakan otonomi harus memastikan bahwa perguruan tinggi tidak hanya melayani kepentingan internal, tetapi juga berkontribusi pada keadilan distributif bagi masyarakat luas.
Selain itu, terdapat ancaman terhadap esensi otonomi ketika komersialisasi pendidikan tinggi menjadi dominan. Menurut Habermas (1984), kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem ekonomi dapat mengurangi kebebasan normatif perguruan tinggi, menjadikannya lebih tunduk pada logika pasar daripada pada nilai-nilai pendidikan.
Revitalisasi juga harus memastikan bahwa perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk berinovasi, tetapi tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Perguruan tinggi yang otonom harus berkomitmen pada pemerataan akses pendidikan dan pengembangan masyarakat yang inklusif.
Otonomi tidak hanya sebatas kebebasan administratif, tetapi juga mencakup kebebasan akademik untuk mengeksplorasi pengetahuan tanpa batasan yang tidak perlu.
Dalam konteks kebijakan, revitalisasi otonomi perguruan tinggi harus memberikan ruang lebih besar bagi perguruan tinggi untuk mengelola kurikulum, anggaran, dan penelitian sesuai dengan visi dan misinya.
Pemerintah perlu merancang regulasi yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan akademik tanpa mengabaikan akuntabilitas. Otonomi tidak akan efektif tanpa dukungan finansial yang memadai. Pemerintah perlu memastikan alokasi dana yang adil untuk mencegah ketimpangan antar institusi.
Walhal, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, dan tanggung jawab, revitalisasi otonomi perguruan tinggi dapat memainkan perannya secara optimal dalam membangun masyarakat yang lebih baik. ***