Cangkul Belajar

By L.N. Firdaus

Pengajar Filsafat Ilmu pada Program Magister Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Riau

 

Jika  hendak berkebun, Cangkul niscaya menjadi perkakas utama yang menjadi andalan. Ianya merupakan alat yang sederhana namun sangat penting. Alat ini menjadi metafora yang kaya untuk memahami hakikat deep learning yang belakangan ini ramai diulas.

Istilah deep learning mengacu pada metode pembelajaran mesin yang mencoba meniru cara otak manusia bekerja melalui jaringan saraf tiruan. Namun, di balik kompleksitas teknologi ini, ada pertanyaan mendalam tentang hakikat pengetahuan, pembelajaran, dan tujuan akhirnya.

Sebagaimana cangkul untuk menggali tanah, deep learning menggali informasi dari data. Sebuah cangkul yang digunakan dengan baik akan menghasilkan penggalian yang dalam dan subur, memungkinkan tanaman tumbuh dengan optimal.

Algoritma deep learning dirancang untuk menggali pola-pola tersembunyi dari data yang sangat besar dan kompleks. Tetapi, penggalian yang dalam memerlukan tenaga, strategi, dan pemahaman konteks tanah yang digarap. Ini menggarisbawahi bahwa “kedalaman” bukan hanya tentang teknologi, melainkan juga tentang filosofi memahami data itu sendiri.

Dalam kajian filsafat, “kedalaman” sering kali dikaitkan dengan pencarian makna di balik permukaan. Heidegger, dalam karyanya “Being and Time”, menyoroti pentingnya memahami “keberadaan” di balik entitas.

Dalam konteks deep learning, kedalaman tidak hanya merujuk pada lapisan jaringan saraf (neuron), tetapi juga pada kemampuan memahami makna dari pola-pola data yang dianalisis. Misalnya, sebuah model deep learning yang baik tidak hanya mengenali pola visual dalam gambar, tetapi juga mampu mengontekstualisasikannya dalam skenario yang lebih luas (Goodfellow et al., 2016).

Cangkul yang digunakan tanpa bijaksana dapat merusak tanah. Maknanya, deep learning yang diterapkan tanpa pemahaman etis dapat menimbulkan dampak buruk, seperti bias algoritma atau pelanggaran privasi (Zou & Schiebinger, 2018).

Oleh karena itu, refleksi filosofis tentang deep learning juga harus mempertimbangkan pertanyaan etis: Apa tujuan utama kita menggunakan teknologi atau pendekatan ini? Bagaimana kita memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kebaikan bersama?

Seperti cangkul, deep learning adalah alat. Dalam filsafat pragmatisme, alat selalu memiliki nilai instrumental: ia bernilai sejauh ia membantu mencapai tujuan yang lebih besar. Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa teknologi deep learning bukanlah tujuan akhir. Tujuan utamanya adalah memperdalam pemahaman kita tentang dunia dan memecahkan masalah yang sebelumnya sulit dipecahkan.

“Cangkul yang dalam” mengingatkan kita untuk tidak hanya terpesona oleh teknologi, tetapi juga untuk merenungkan makna dan tujuan di balik penggunaannya.

Deep learning menawarkan peluang besar untuk memperdalam wawasan kita tentang data dan dunia, tetapi hanya jika kita menggunakannya dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab  bagi membangun kebun ilmu dunia dan akhirat. Wallahualam bissawab.***