in loco parentis
by L.N. Firdaus
Jelang H-3 pergantian tahun 2021, pikiran saya tertuju pada narasi Wawasan Almamater yang dulu (1984) terpampang tegak membusung di sisi kiri Gedung Rektorat Universitas Riau Kampus Jl. Pattimura Gobah.
Saya senang membaca kalimat naratif berwarna putih dengan latar papan berwarna biru laut setiap kali memasuki halaman kampus bertuah itu.
Tak tahu pasti tanggal berapa, hari apa, jam berapa, dan siapa gerangan yang mencabut serta melenyapkan tulisan tentang tata tertib pengasuhan itu. Biarlah kelak dia mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan universitas akhirat.
Lama memang Wawasan Ibu Asuh tak pernah diungkit-ungkit, kecuali sekali-dua terdengar melalui lagu ‘Almamater-ku’ kala wisuda.
Bagi yang lupa atau memang belum pernah tahu dan membaca narasi Wawasan Almamater itu, biarlah saya salin ulang ke laman elektronik ini.
Wawasan Almamater adalah konsepsi yang mengandung anggapan-anggapan bahwa:
- Perguruan Tinggi harus benar-benar merupakan lembaga ilmiah, sedang kampus harus benar-benar merupakan masyarakat ilmiah.
- Perguruan Tinggi sebagai Almamater (Ibu Asuh) merupakan suatu kesatuan yang bulat & mandiri dibawah pimpinan Rektor sebagai pimpinan utama.
- Keempat unsur Sivitas Akademika, yakni Pengajar, Karyawan Administrasi, Mahasiswa serta Alumnus harus manunggal dengan Almamater, berbakti kepadanya dan melalui Almamater mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara dengan jalan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
- Keempat unsur sivitas akademika dalam upaya menegakkan Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah dan kampus sebagai masyarakat ilmiah melaksanakan Tri Karya, yaitu : Institusionalisasi (pembentukan institusi-institusi), Profesionalisasi (proses memantapan profesi-profesi), dan Transpolitisasi (mempelajari politik, politicking)
- Tata krama pergaulan di dalam lingkungan Perguruan Tinggi dan kampus di dasarkan atas azas kekeluargaan serta menjujung Tinggi keselarasan dan keseimbangan sesuai dengan pandangan hidup Pancasila.
(Sumber: Kep. MENDIKBUD No. 0319/U/1983 tanggal 22 Juli 1983).
Lama saya merenung tengah malam buta sambil memejamkan mata menjemput tidur sampai terngigau-ngigau; bercakap-cakap sambil bertanya-tanya ke diri sendiri;
- Kita ini masih lembaga ilmiah murni, semi ilmiah atau pseudo-ilmiah?
- Kita ini masih merupakan entitas akademik yang bulat-padu atau renggang-multisegi dan belum sepenuhnya mandiri?
- Kita ini masih manunggal dengan alamater atau “memenggal” almamater?
- Institusionalisasi di kampus kita ini sudah kompatibel dengan tuntutan zaman atau sudah kadaluarsa?
- Profesionalisme yang kita rajut ini masih tetap profesionalisme sejati atau pseudo-profesionalism?
- Transpolitisasi dalam kampus ini masih politic of scholarship atau cenderung campus politicking?
- Tata krama pergaulan dalam kampus kita masih menjulang azas kekeluargaan Demokrasi Pancasila atau nepotism clepto-university?
Baru tersentak dari tidur oleh suara adzan subuh. Lepas itu, cepat-cepat saya tulis agar igauan dalam tidur saya tadi tidak hilang percuma. Susah minta ulang ngigau yang sama pada episode tidur berikutnya.
Namun minta maaf…, saya sendiri belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif yang muncul dalam igauan tadi, terutama tentang:
Sudah sejauh mana diri saya sendiri telah, sedang, dan akan memuliakan misi Orang Tua Asuh (in loco parentis) dalam memberikan pengasuhan akademik (scholarship of teaching and Learning) melalui pendidikan yang memartabatkan manusia?
Wallahu a’lam bi al-Shawab….