Spiritualitas dan Pemurnian Diri

Oleh L.N. Firdaus

 

Alhamdulillahi, setelah Ramadan, saat Hari Raya Idul Fitri tiba Rabu kemarin. Umat Muslim merayakannya sebagai momen kejayaan dalam menjalankan puasa untuk kembali menjadi fitri di hadapan ALLAH SWT.

Melalui pengalaman spiritual berpuasa, seseorang belajar sekuat dapat mengendalikan syahwat dan keinginan duniawi, serta mendorong untuk lebih fokus pada kebaikan dan kebajikan.

Selepas itu, datanglah Idul Fitri.  Hari Raya bagi umat Islam untuk merayakan kesuksesan dengan penuh suka cita atas ibadah puasa selama bulan pembakaran dosa.

Ianya  tidak hanya menjadi ajang untuk berkumpul dengan keluarga dan saudara mara, karib kerabat, dan handai taulan, melainkan  juga sebagai momen untuk memperkuat hubungan sosial dan saling memaafkan berlandaskan keikhlasan sejati.

Idul Fitri adalah saat untuk memaafkan kesalahan orang lain dan juga meminta maaf atas kesalahan yang telah kita lakukan. Dengan saling memaafkan, umat Muslim dapat memulai lembaran baru dengan hati yang bersih dan damai.

Meskipun Idul Fitri menandai akhir dari bulan Ramadan, namun tantangan untuk tetap menjaga kesucian jiwa dan spiritualitas tetap berlanjut sepanjang hayat dikandung badan.

Proses untuk menjadi fitri kembali tidak berhenti begitu saja setelah lebaran berakhir. Sebaliknya, merupakan awal dari perjalanan panjang untuk terus memperbaiki diri, memperdalam iman, dan meningkatkan ketaqwaan kepada ALLAH SWT.

Tantangan tersebut termasuk mempertahankan amal ibadah yang telah dilakukan selama Ramadan, menjaga keteguhan hati dalam menghadapi godaan duniawi, dan terus berupaya menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.

Walhal, perkara menjadi fitri kembali setelah Ramadan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari perjalanan spiritual yang lebih mendalam dan bermakna.

Proses ini melibatkan pengorbanan, ketekunan, dan keberanian untuk menghadapi tantangan yang ada.

Namun, dengan kesabaran dan keyakinan yang teguh, setiap Muslim dapat mencapai kesucian jiwa dan mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Dengan demikian, Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga peluang untuk memperkuat iman, memperbaiki diri, dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Khilaf dan salah Tuan/Puan sudah pun hamba maafkan, Maafkan pula khilaf dan salah hamba pribadi dan keluarga.

Taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum wa ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin kullu aamiin wa antum bi khair, Insya ALLAH.

Kemanusiaan Digital

Oleh : L.N. Firdaus

 

Di era digital yang terus melesat, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari media sosial hingga kecerdasan buatan, inovasi digital telah mengubah cara kita berinteraksi, bekerja, dan bahkan memahami diri kita sendiri.

Namun, di tengah segala kemajuan ini, penting untuk tidak kehilangan fokus pada aspek yang paling mendasar dari eksistensi kita, yaitu  kemanusiaan  (humanism).

Inilah yang mendasari konsep humanisme digital, sebuah paradigma yang menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan perkembangan teknologi digital. Setidaknya itulah pesan kunci yang dapat dicungkil dari  Bunga Rampai: “Introduction to Digital Humanism”  hasil suntingan  Hannes Werthner et al. (2024).

Kemanusiaan  digital adalah pendekatan yang menempatkan kepentingan dan kesejahteraan manusia di tengah-tengah perkembangan teknologi digital.

Pendekatan ini menekankan pentingnya mengembangkan teknologi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat dan individu, serta memastikan bahwa inovasi tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara keseluruhan.

Humanisme digital mencakup berbagai aspek, mulai dari privasi dan keamanan data hingga inklusi digital dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan.

Tidak sedikit tantangan yang akan dihadapi dalam mewujudkan visi humanisme digital. Salah satu tantangan utama adalah masalah privasi dan keamanan data.

Dalam era di mana data menjadi mata uang digital, amat penting memastikan bahwa informasi pribadi kita dilindungi dari penyalahgunaan dan eksploitasi.

Ketidaksetaraan akses terhadap teknologi juga merupakan perkara yang perlu ditangani, karena dapat memperkuat kesenjangan sosial dan ekonomi yang ada.

Namun, di tengah tantangan ini, terdapat pula peluang besar untuk memanfaatkan teknologi digital guna meningkatkan harkat kemanusiaan kita.

Penggunaan kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan misalnya,  dapat membantu diagnosis penyakit secara lebih cepat dan akurat, sehingga mempercepat proses penyembuhan dan menyelamatkan nyawa.

Teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan di seluruh dunia, membantu mengatasi kesenjangan dalam pembelajaran.

Dengan mengadopsi pendekatan humanisme digital, kita dapat membentuk masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi kemanusiaan. Tentu saja, perkara ini mesti melibatkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kebaikan bersama.

Untuk itu, kebijakan yang mengatur penggunaan data, peningkatan akses terhadap teknologi bagi komunitas yang kurang beruntung, dan pendidikan tentang etika digital perlu segera digesa.

Penting juga untuk terus mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari perkembangan teknologi. Dalam merancang dan mengadopsi inovasi digital baru, kita harus memikirkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan, serta memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi prioritas utama.

Walhal, humanisme digital menawarkan pandangan yang optimis tentang masa depan teknologi, di mana nilai-nilai kemanusiaan menjadi pusat dari setiap inovasi dan perkembangan.

Dengan memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan manusia, kita dapat memastikan bahwa teknologi yang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang.

Dalam menjalani revolusi digital ini, esensi dari keberadaan kita sebagai manusia hendaknya harus menjadi penghulu untuk saling peduli, menghormati, dan mendukung satu sama lain dalam perjalanan kita menuju masa depan yang lebih baik.

Jika tidak, niscaya buruk padahnya. Sepanjang hayat dikandung badan, harkat kemanusiaan manusia niscaya akan berada di bawah  telapak kaki mesin digital yang kalau tak bijak niscaya akan menjadi tuhan manusia masa hadapan. ***

Keguruan dan Pendidikan

Oleh L.N. Firdaus

 

Era disruptif membawa cabaran baru dalam dunia keguruan dan pendidikan. Guru mesti lincah beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan awas meneroka tren pendidikan yang lekas berubah arah.

Pertanyaan mengenai perbedaan antara keguruan dan pendidikan seringkali menghasilkan keraguan dan kebingungan, meski sudah berpuluh-puluh tahun menjadi guru (teacher) dan pendidik (educator). Meskipun keduanya saling berkaitan, keduanya memiliki hakikat dan dimensi yang berbeda.

Keguruan dan pendidikan memiliki peran yang tak tergantikan dalam membentuk karakter dan kualitas manusia. Keduanya saling terkait dan menjadi fondasi utama dalam menciptakan generasi yang cerdas, berwawasan luas, dan bertanggung jawab.

Keguruan mencakup aspek yang lebih spesifik, menitikberatkan pada proses pengajaran dan pembimbingan siswa oleh seorang guru.

Dalam “The Art of Teaching” karya Gilbert Highet, keguruan digambarkan sebagai seni yang melibatkan pemberian inspirasi, motivasi, dan bimbingan kepada siswa. Keguruan berfokus pada implementasi strategi pengajaran yang efektif, kemampuan mengelola kelas, dan kepekaan terhadap kebutuhan individual siswa.

Keguruan bukan hanya sekadar mentransfer pengetahuan kepada siswa. Keguruan lebih dari semua itu. Guru yang bermutu dapat menjadi panutan yang memberikan inspirasi kepada siswanya. Dengan memahami kebutuhan dan potensi setiap siswa, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk perkembangan intelektual dan emosional peserta didik.

Di sisi lain, pendidikan melibatkan proses pembentukan manusia secara holistik. Dalam pandangan John Dewey, pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan pengembangan karakter, moral, dan keterampilan hidup. Pendidikan mencakup seluruh proses yang membentuk individu menjadi anggota masyarakat yang berpikir kritis, kreatif, dan berkontribusi positif.

Pendidikan bukan sekadar proses menghafal fakta dan angka, melainkan pembentukan pola pikir kritis dan kreatif. Pendidikan yang baik memberikan siswa keterampilan hidup, pemahaman akan nilai-nilai moral, dan pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman. Sebuah sistem pendidikan yang efektif harus mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki etika dan moralitas yang kuat.

Untuk memahami perbedaan hakiki antara keguruan dan pendidikan, kita dapat merujuk pada pemikiran filosofis terkemuka dalam bidang ini. Misalnya, karya-karya Plato dan Aristoteles memberikan pandangan mendalam mengenai tujuan pendidikan dan peran guru dalam membentuk karakter individu.

Dengan merenungkan gagasan-gagasan filosofis ini, kita dapat melihat bagaimana hakikat keguruan dan pendidikan berakar pada pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia dan masyarakat.

Dalam era post digital, tantangan pendidikan semakin kompleks dengan munculnya teknologi dan perubahan sosial. Guru tidak hanya harus menjadi fasilitator pembelajaran, tetapi juga pandai mengelola dinamika sosial dan kultural dalam kelas.

Pendidikan harus bersifat inklusif, mengakomodasi keberagaman siswa, dan mendorong pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Suksesnya pendidikan tidak hanya bergantung pada guru di kelas, tetapi juga melibatkan peran orang tua dan dukungan masyarakat.

Kemitraan yang kuat antara ketiga pihak ini dapat menciptakan lingkungan belajar yang holistik dan mendukung perkembangan optimal siswa. Dukungan orang tua dan partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam membentuk sikap positif terhadap pendidikan.

Walhal, keguruan itu sejatinya adalah “learning to Do”.  Sedangkan pendidikan ialah “learning to Be”. Keguruan dan pendidikan bukanlah konsep yang dapat dipisahkan sepenuhnya, tetapi memiliki perbedaan hakiki. Dengan menggali referensi filosofis dan melihat tantangan kontemporer, kita dapat membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang bagaimana kedua aspek ini berinteraksi untuk membentuk manusia dan masyarakat yang cerdas dan beradab. ***

Calon Presiden yang Berintegritas

Oleh L.N. Firdaus

Alumni Lemhannas RI 2009

 

Integritas merupakan landasan yang krusial dalam menilai kualitas seorang calon presiden. Dalam konteks kepemimpinan politik, integritas mencerminkan kejujuran, moralitas, dan konsistensi dalam tindakan dan keputusan.

Memilih calon presiden yang berintegritas bukan hanya mengamankan masa depan negara, tetapi juga memberikan pondasi yang kokoh untuk pembangunan berkelanjutan.

Calon presiden yang berintegritas harus mampu berkomunikasi dengan jujur kepada publik. Ini mencakup memberikan informasi yang akurat, tidak memanipulasi fakta, dan tidak membuat janji-janji yang tidak dapat dipenuhi.

Kejujuran dalam komunikasi menciptakan kepercayaan antara pemimpin dan rakyat, membentuk dasar kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Integritas bukan hanya tentang tidak melakukan tindakan korupsi, tetapi juga mencakup konsistensi dalam prinsip-prinsip moral, transparansi dalam kebijakan, dan kemampuan untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil.

Dalam perjalanan politik yang panjang, kemampuan untuk tetap setia pada prinsip-prinsip moral mendasar menunjukkan kekokohan karakter dan keandalan.

Analisis riwayat kepemimpinan dapat memberikan wawasan tentang sejauh mana seorang calon mampu mempertahankan integritasnya dalam berbagai konteks.

Calon presiden berintegritas tidak hanya merayakan kesuksesan, tetapi juga bertanggung jawab atas keputusan yang kurang berhasil atau bahkan keliru.

Kemampuan untuk mengakui kesalahan dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi menunjukkan kedewasaan dan integritas kepemimpinan.

Evaluasi respons terhadap tantangan dan krisis dapat memberikan indikasi sejauh mana seorang calon mampu mengelola integritasnya di tengah tekanan yang menghimpit.

Calon presiden berintegritas akan merespons tantangan etika dengan cara yang konsisten dengan nilai-nilai moral. Analisis respons terhadap skandal atau kontroversi dapat memberikan gambaran tentang sejauh mana seorang calon memegang teguh prinsip-prinsip integritasnya.

Calon presiden berintegritas harus bersedia untuk terbuka dan transparan dalam semua aspek pemerintahan. Dengan menganalisis riwayat kepemimpinan, keputusan dan kebijakan yang telah diambil, respons terhadap tantangan etika, serta keterbukaan dan transparansi, pemilih dapat membuat keputusan yang lebih informan dan bertanggung jawab.

Walhasil, memilih calon presiden berintegritas membutuhkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai moral dan etika kepemimpinan.

Integritas calon presiden bukan hanya tentang citra baik, tetapi juga tentang pondasi moral yang kokoh untuk kepemimpinan. Dengan memilih calon presiden berintegritas, kita berinvestasi dalam masa depan yang didasarkan pada nilai-nilai moral, transparansi, dan akuntabilitas.

Dalam sebuah demokrasi, integritas merupakan elemen kunci yang membentuk kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan dan memberikan landasan yang solid untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Melibatkan diri dalam proses demokratis ini adalah langkah krusial bagi membangun masa depan Indonesia yang kokoh dan berintegritas.

Panas tembaga jangan dipegang,

Kalau dipegang melepuh jari,

Hak suara  jangan dibuang,

Kalau dibuang binasa negeri.

 

Naga Kayu Jemput Pilihan Raya

Oleh L.N. Firdaus

 

Dalam sebuah masyarakat yang beragam seperti Indonesia, berbagai tradisi dan perayaan yang berasal dari budaya yang berbeda seringkali bersatu dalam harmoni yang unik.

Besok, Sabtu (10 Februari), Umat Budha di seluruh dunia akan merayakan Imlek. Selepas itu (14 Februari), pesta pilihan raya akan digelar untuk memastikan Presiden yang legitimate bagi menerajui Indonesia lima tahun ke depan.

Imlek merupakan perayaan tahun baru yang penuh makna bagi Umat Budha di seluruh dunia. Setiap tahun, keluarga dan teman-teman mudik dan berkumpul untuk merayakan momen penting ini.

Tahun ini, Umat Budha akan menjelajahi perayaan Imlek yang sangat istimewa, yaitu Imlek Naga Kayu. Naga Kayu menjadi simbol khusus dalam siklus shio Tionghoa. Ianya memberikan sentuhan magis dan keunikan pada perayaan tahun ini.

Dalam tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi,  Tahun Baru Imlek ditandai oleh  berkumpulnya kembali keluarga untuk berbagi hidangan lezat, memberikan Ang Pao yang berisi uang sebagai tanda keberuntungan, dan melakukan berbagai upacara keagamaan.

Tahun Naga Kayu adalah salah satu tahun dalam siklus shio Tionghoa yang dianggap istimewa. Setiap tahun dalam kalender shio dikaitkan dengan seekor hewan tertentu dan unsur tertentu.

Naga adalah salah satu hewan yang dihormati dalam budaya Tionghoa, dan kayu adalah salah satu unsur penting yang melambangkan pertumbuhan, kehidupan, dan energi positif.

Naga dalam budaya Tionghoa bukan hanya sekadar hewan mitologis. Naga dianggap sebagai simbol keberanian, kekuatan, dan perlindungan.

Banyak legenda dan cerita rakyat Tiongkok yang melibatkan naga sebagai pahlawan atau pelindung masyarakat. Ketika tahun Naga tiba, masyarakat Tionghoa merayakannya dengan antusiasme dan penghargaan terhadap simbolisme positif yang melekat pada naga.

Tahun Naga Kayu dianggap sebagai waktu yang sangat cocok untuk memulai proyek baru, merencanakan investasi, atau mengejar tujuan yang telah lama diimpikan. Tahun Naga Kayu dianggap sebagai kesempatan untuk memulai hal-hal baru dan mengejar impian dengan azam yang kuat.

Unsur kayu dalam budaya Tionghoa melambangkan pertumbuhan, kelahiran, dan kehidupan yang baru. Dalam sistem lima unsur (kayu, api, tanah, logam, air), kayu dianggap sebagai elemen yang penuh energi dan dinamis.

Meskipun Imlek adalah perayaan tradisional yang lebih bersifat keagamaan dan kekeluargaan, beberapa tahun terakhir telah mencatatkan peningkatan kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia selama perayaan Imlek. Momen ini sering dimanfaatkan untuk mempromosikan dialog politik, membangun kesadaran akan hak dan kewajiban politik, serta mendorong partisipasi dalam pemilihan umum.

Tahun Naga Kayu dalam kalender Shio Tionghoa memiliki makna khusus, terutama dalam konteks perubahan dan transformasi. Simbolisme naga yang dihubungkan dengan keberanian dan ketekunan dapat diartikan sebagai dorongan untuk menghadapi perubahan dan tantangan di ranah politik.

Pada saat yang bersamaan, unsur kayu yang melambangkan pertumbuhan dan kehidupan baru dapat diartikan sebagai harapan untuk masa depan politik yang lebih baik. Dengan demikian, perpaduan antara tradisi Imlek Naga Kayu dan dinamika Pilpres Indonesia menciptakan momen yang istimewa.

Melalui kesadaran politik, peran komunitas Tionghoa, dan harmoni antara tradisi keluarga dengan partisipasi politik, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah positif menuju pembangunan masyarakat yang lebih inklusif dan berdaya saing. Dengan merayakan kedua tradisi ini dengan harmoni, Indonesia dapat memperkuat identitas nasionalnya yang beragam dan dinamis. ***

Pembusukan Demokrasi

Oleh L.N. Firdaus

Alumni Lemhannas RI 2009

 

Demokrasi, sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, telah dianggap sebagai sistem yang paling inklusif dan adil. Namun, seperti halnya sistem pemerintahan lainnya, demokrasi bukanlah suatu kekebalan dari ancaman dan tantangan. Salah satu fenomena yang semakin mendapat perhatian adalah pembusukan demokrasi (Democracy Decay) menjadi perhatian serius di berbagai belahan dunia.

Pembusukan Demokrasi mengacu pada suatu proses perlahan yang mengikis nilai-nilai demokrasi secara sistematis. Ini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari penurunan partisipasi politik hingga peningkatan otoriterisme.

Sejumlah definisi dan pemahaman terkait Pembusukan Demokrasi akan membantu kita untuk memahami kerumitan fenomena ini secara lebih mendalam. Levitsky dan Ziblatt (2018), mendefiniskan pembusukan demokrasi sebagai proses perlahan, bertahap, dan seringkali tidak terlihat yang mengarah pada penurunan kualitas demokrasi. Serangan terhadap lembaga-lembaga demokratis, norma-norma politik, dan hak-hak dasar dapat merusak fondasi demokrasi.

Lingkup dari pembusukan demokrasi mencakup berbagai aspek yang saling terkait. Pertama, adanya ancaman terhadap kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Kedua, terjadinya penurunan partisipasi politik, baik dalam bentuk pemilihan umum maupun keterlibatan aktif dalam proses politik sehari-hari. Ketiga, peningkatan korupsi di dalam institusi-institusi pemerintahan, yang dapat merongrong integritas dan kepercayaan publik.

Sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, Demokrasi oleh banyak orang dianggap sebagai sistem paling adil dan inklusif. Namun, pada saat yang sama demokrasi pun rentan terhadap pembusukan sehingga  fondasi demokrasi mengalami kerapuhan.

Pembusukan demokrasi merujuk pada proses yang perlahan tapi pasti, di mana nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan keadilan tergerus secara sistematis. Ini bisa terjadi melalui berbagai macam, cara, termasuk penurunan partisipasi politik, pembatasan kebebasan pers, keterlibatan korupsi dalam sistem politik, dan peningkatan otoriterisme.

Pembusukan demokrasi menjadi ancaman serius terhadap kekuatan fondasi demokrasi yang sehat. Korupsi politik menjadi salah satu pemicu utama pembusukan demokrasi. Menurut Huntington (1968), korupsi dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokratis dan menghasilkan ketidakstabilan politik. Ketika pemimpin politik terlibat dalam praktek-praktek korup, perasaan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat dapat memicu ketidakstabilan politik.

Saat elit politik terlibat dalam praktik-praktik korup, kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokratis dapat runtuh. Korupsi bukan hanya mengancam integritas demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan.

Polaritas yang meningkat di dalam masyarakat dan di antara partai politik juga dapat menyebabkan pembusukan demokrasi. Ketika pemimpin politik lebih fokus pada perpecahan daripada persatuan, proses pengambilan keputusan menjadi sulit, dan kompromi sulit dicapai. Polarisasi politik yang tinggi dapat melemahkan kapasitas demokrasi untuk mencapai kesepakatan yang melayani kepentingan bersama.

Polarisasi politik yang tinggi dapat merusak proses demokratis dengan memperumit pembuatan keputusan dan menghambat kemampuan untuk mencapai konsensus. Levitsky dan Ziblatt (2018) menyatakan bahwa polarisasi yang ekstrem dapat memicu konflik politik yang berdampak buruk pada stabilitas demokrasi.

Penyebaran berita palsu dan manipulasi media dapat merusak integritas pemilihan dan mempengaruhi opini publik. Manipulasi media dan penyebaran berita palsu dapat meracuni proses demokratis. Sunstein (2017) menyoroti pentingnya kebebasan informasi yang akurat dalam menjaga kesehatan demokrasi.  Manipulasi informasi dapat merusak pondasi demokrasi dengan mendistorsi pemahaman masyarakat tentang realitas politik.

Pembusukan demokrasi secara langsung berkontribusi pada penurunan partisipasi politik. Dengan merosotnya kepercayaan masyarakat pada sistem, banyak yang menjadi apatis dan menarik diri dari proses politik (Norris, 2011). Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada proses politik, partisipasi pemilih niscaya akan menurun.

Pemerintah yang terlibat dalam pembusukan demokrasi cenderung membatasi kebebasan sipil, termasuk hak berkumpul, kebebasan pers, dan hak berbicara. Peningkatan otoriterisme yang terkait dengan pembusukan demokrasi seringkali diiringi dengan pembatasan terhadap kebebasan sipil. Freedom House (2020) mencatat penurunan kebebasan sipil di beberapa negara sebagai hasil dari pembusukan demokrasi.

Pembusukan demokrasi juga dapat memperkuat ketidaksetaraan ekonomi dan sosial. Pemimpin yang korup dan terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan dapat memperlebar kesenjangan antara kelompok-kelompok masyarakat (Piketty, 2014).

Menguatkan institusi-institusi demokratis adalah langkah krusial dalam melawan pembusukan demokrasi. Keberadaan sistem peradilan yang independen, badan pengawas pemilihan yang kuat, dan lembaga-lembaga demokratis lainnya dapat menjadi benteng pertahanan terhadap ancaman (Diamond & Morlino, 2005). Institusi yang kuat adalah kunci untuk melindungi demokrasi dari ancaman internal dan eksternal.

Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang prinsip-prinsip demokrasi dan pentingnya partisipasi politik juga dapat membantu melawan manipulasi informasi. UNESCO (2019) menekankan pentingnya pendidikan politik yang mendalam untuk membangun masyarakat yang kritis dan berpartisipasi.

Masyarakat yang terlibat aktif dalam proses politik dapat memainkan peran penting dalam mencegah pembusukan demokrasi. Inisiatif warga dan kelompok advokasi dapat menjadi penyeimbang terhadap kekuasaan politik yang korup. Keterlibatan masyarakat adalah benteng pertahanan terkuat terhadap pembusukan demokrasi.

Walhasil, pembusukan demokrasi adalah ancaman serius yang memerlukan perhatian global. Dengan memahami faktor-faktor yang memicu dan dampak dari pembusukan demokrasi, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk melawannya. Melalui penguatan institusi demokratis, pendidikan politik yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang melayani kepentingan semua warganya. ***

Pahlawan Akademik

Oleh L.N. Firdaus

 

Hari Pahlawan merupakan momen yang dihormati di berbagai belahan dunia sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa para pejuang kemerdekaan.

Namun, di balik narasi perang dan kepahlawanan di medan tempur, kita sering kali melupakan pahlawan-pahlawan yang mengukir sejarah melalui pena dan pikiran mereka. Mereka yang dengan tekun dan tanpa senjata, membangun bangsa melalui ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Pendidikan tidak hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membuka pintu menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia.

Para Pahlawan Akademik pada tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi memainkan peran penting dalam membentuk karakter generasi penerus.

Dosen-Dosen yang gigih dalam mendidik, menciptakan pondasi yang kokoh bagi perkembangan moral dan intelektual masyarakat.

Pahlawan Akademik di dunia pendidikan tinggi berperan sebagai arsitek pembangunan bangsa.

Mereka mendidik para mahasiswa tidak hanya untuk menjadi tenaga kerja yang terampil, tetapi juga pemikir kritis dan warga negara yang bertanggung jawab.

Pendidikan tinggi menjadi kunci kesejahteraan bangsa karena menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan bersaing di tingkat global.

Meskipun memiliki peran yang sangat penting, pahlawan akademik sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan.

Keterbatasan dana, persaingan yang ketat, dan kurangnya dukungan bisa menjadi rintangan yang sulit diatasi.

Bagaimana mereka menghadapi hambatan-hambatan ini dan tetap berkontribusi pada ilmu pengetahuan adalah cermin keuletan dan dedikasi mereka.

Dalam era globalisasi ini, peran Pahlawan Akademik semakin terlihat mendesak. Mereka tidak hanya diharapkan menjadi pemimpin di tingkat nasional, tetapi juga berkontribusi pada komunitas ilmiah global.

Seiring pergantian zaman, tantangan dan peluang bagi Pahlawan Akademik semakin kompleks. Mereka bukan hanya pengajar dan peneliti, tetapi juga pionir perubahan yang membentuk arah kemajuan.

Dalam keberagaman disiplin ilmu, mereka menyatukan visi untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, beretika, dan inovatif.

Melalui ilmu pengetahuan dan pendidikan, Pahlawan Akademik membuktikan bahwa kekuatan pena dan pikiran adalah senjata yang tak kalah hebatnya dalam membangun masa depan bangsa. ***

Core Business Perguruan Tinggi

By L.N. Firdaus

 

Perguruan tinggi memainkan peran sentral dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan karakter individu serta berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan ekonomi. Core Business Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat CBPT) adalah aspek kritis yang membentuk landasan dari semua aktivitas dan tujuan pendidikan tinggi.

CBPT perguruan tinggi mengacu pada fokus utama dari misi dan tujuan institusi pendidikan (Mihnea, 2020). Ini mencakup aktivitas-aktivitas inti yang menjadi landasan dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi.

CBPT tidak hanya mencakup aspek akademik seperti pengajaran dan penelitian, tetapi juga melibatkan fungsi-fungsi pendukung seperti manajemen, layanan mahasiswa, dan pengelolaan sumber daya.

Konsep CBPT memang telah mengalami evolusi seiring perubahan dalam lingkungan pendidikan dan tuntutan masyarakat. Pada awalnya, fokus utama perguruan tinggi adalah pada pengajaran dan pembentukan karakter mahasiswa. Namun, dengan perkembangan globalisasi, teknologi, dan persaingan yang semakin ketat, perguruan tinggi juga terlibat dalam penelitian dan inovasi sebagai bagian dari CBPT mereka (Altbach, 2007).

CBPT memiliki peran dan signifikansi yang luas dalam berbagai aspek. Pertama, CBPT menentukan identitas dan profil institusi. Ini membantu perguruan tinggi untuk membedakan diri dan mengkhususkan diri dalam bidang-bidang tertentu, membangun reputasi yang kuat. Beberapa perguruan tinggi fokus pada penelitian ilmiah sementara yang lain lebih menekankan pada pendidikan profesional.

Kedua, CBPT juga memengaruhi pengembangan kurikulum dan program-program pendidikan. Fokus utama institusi akan mempengaruhi prioritas dan pengembangan program-program akademik yang sesuai dengan tujuan CBPT. Ini akan membantu mempersiapkan mahasiswa untuk berkontribusi secara efektif dalam bidang yang relevan.

Ketiga, CBPT berdampak pada penggunaan sumber daya dan alokasi anggaran. Pengambilan keputusan tentang alokasi dana, pengembangan fasilitas, dan rekrutmen staf akademik akan dipengaruhi oleh fokus utama CBPT. Misalnya, jika sebuah perguruan tinggi memiliki CBPT yang kuat dalam penelitian, maka dana yang lebih besar mungkin dialokasikan untuk mendukung kegiatan penelitian.

Keempat, CBPT juga berhubungan dengan hubungan dengan masyarakat dan industri. Perguruan tinggi yang berfokus pada pengabdian masyarakat akan memiliki keterlibatan yang lebih erat dengan komunitas sekitar dan industri lokal.

Meskipun memiliki signifikansi yang besar, mengimplementasikan CBPT juga menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah kesulitan dalam menetapkan prioritas yang jelas dan konsisten. Beberapa perguruan tinggi mungkin menghadapi kesulitan dalam memilih bidang utama di tengah beragamnya tuntutan dan harapan dari berbagai pemangku kepentingan.

Tantangan lainnya adalah menjaga keseimbangan antara berbagai komponen CBPT. Terkadang, fokus yang terlalu kuat pada satu aspek, misalnya penelitian, dapat mengesampingkan aspek lain seperti pengajaran atau pengabdian masyarakat.

Selain itu, perkembangan teknologi dan globalisasi juga memberikan tantangan baru dalam mengimplementasikan CBPT. Perguruan tinggi perlu beradaptasi dengan perubahan cepat dalam teknologi dan tuntutan global untuk tetap relevan dan kompetitif. Hal ini mungkin memerlukan penyesuaian dalam fokus utama CBPT.

Implementasi yang efektif dari CBPT dapat memiliki dampak yang signifikan pada perguruan tinggi dan masyarakat. Perguruan tinggi yang mampu menjalankan CBPT dengan baik dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Selain itu, CBPT yang jelas dan kuat juga dapat membantu perguruan tinggi untuk membangun reputasi yang baik. Perguruan tinggi dengan identitas yang jelas dan fokus yang konsisten lebih mungkin dikenal dan diakui dalam komunitas akademik dan industri.

Meskipun menghadapi tantangan dalam mengimplementasikannya, CBPT memiliki dampak yang signifikan terhadap perguruan tinggi dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan dan menjalankan CBPT dengan hati-hati untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.***

Core Values dan Budaya Akademik

by L.N. Firdaus

Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan pandangan dunia mahasiswa.

Di dalam lingkungan akademik, terdapat dua konsep yang memainkan peran utama dalam membentuk identitas dan orientasi lembaga pendidikan, yaitu nilai-nilai inti (core values) dan budaya akademik (academic culture).

Kedua konsep ini memiliki perbedaan yang signifikan meskipun saling berkaitan dalam membentuk identitas dan karakteristik suatu perguruan tinggi.

Core values merupakan prinsip-prinsip atau pandangan dasar yang menjadi landasan moral dan etika suatu lembaga. Ianya mencerminkan visi, misi, dan tujuan lembaga serta menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan dan interaksi di dalam komunitas perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi memiliki core values yang berbeda-beda, dan nilai-nilai ini mencerminkan identitas unik dari lembaga tersebut.

Menurut Chapman dan Pennington (2020), core values mencakup aspek-aspek seperti integritas, kerjasama, keunggulan, keragaman, inovasi, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini tidak hanya tercermin dalam dokumen resmi lembaga, tetapi juga diimplementasikan dalam berbagai kegiatan, kebijakan, dan interaksi sehari-hari di lingkungan kampus. Core values menjadi tolok ukur dalam menilai apakah suatu perguruan tinggi berkinerja baik dalam mencapai tujuannya dan memenuhi harapan masyarakat.

Budaya akademik mengacu pada norma-norma, praktik-praktik, dan tradisi-tradisi yang berkembang di dalam suatu perguruan tinggi. Budaya ini mencerminkan cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi di kalangan mahasiswa, dosen, dan staf administratif. Budaya akademik membentuk lingkungan belajar-mengajar serta berkontribusi pada identitas institusi.

Menurut Brown (2016), budaya akademik dapat mencakup aspek-aspek seperti penghargaan terhadap penelitian, kolaborasi antar-disiplin, diskusi terbuka, dan orientasi pada pengembangan pribadi. Budaya ini terbentuk dari interaksi antara anggota komunitas akademik, dan dapat berubah seiring waktu sesuai dengan perkembangan sosial, teknologi, dan lingkungan global.

Meskipun core values dan budaya akademik berkontribusi pada identitas perguruan tinggi, terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya. Core values merupakan prinsip-prinsip abstrak yang menjadi landasan moral dan etika institusi, sedangkan budaya akademik lebih fokus pada praktik-praktik dan norma-norma yang termanifestasi dalam interaksi sehari-hari.

Jika suatu perguruan tinggi memiliki core values “keunggulan dalam pendidikan,” maka budaya akademik yang muncul mungkin mencakup dorongan untuk inovasi dalam metode pengajaran, penekanan pada penelitian berkualitas, dan penciptaan lingkungan belajar yang merangsang perkembangan akademik mahasiswa.

Pemahaman yang mendasar tentang perbedaan antara core values dan budaya akademik memiliki implikasi yang signifikan terhadap pengelolaan dan pengembangan perguruan tinggi. Perguruan tinggi perlu secara konsisten mengintegrasikan core values ke dalam budaya akademik untuk menjaga kohesivitas dan konsistensi dalam upaya mencapai tujuan institusi.

Dalam konteks persaingan global dalam pendidikan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan perlu memastikan bahwa core values mereka tercermin dalam budaya akademik yang dijalankan di kampus.

Penelitian oleh Smith dan Johnson (2021) menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan core values dengan baik ke dalam budaya akademik cenderung lebih sukses dalam menarik calon mahasiswa, mengembangkan program akademik yang inovatif, dan membangun reputasi yang kuat di tingkat nasional maupun internasional.

Dengan demikian,   perbedaan antara core values dan budaya akademik perguruan tinggi mengilustrasikan pentingnya memiliki prinsip-prinsip moral dan etika yang menjadi landasan lembaga, serta menerapkan praktik-praktik dan norma-norma yang menggambarkan identitas dan karakter institusi.

Keduanya saling melengkapi dan membentuk pandangan umum tentang bagaimana perguruan tinggi diidentifikasi dan dikenali oleh masyarakat luas. Dalam era globalisasi dan perubahan yang cepat, pemaduan antara core values dan budaya akademik menjadi kunci keberhasilan bagi perguruan tinggi dalam mencapai tujuan pendidikan dan pengembangan institusi. ***

Riset Pendidikan Berbasis Budaya Melayu

By L.N. Firdaus

Pengajar Filsafat Pendidikan dan Isu-isu Pendidikan Kontemporer, Program Studi Pendidikan Doktor, FKIP Universitas Riau

 

Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter, pengetahuan, dan keterampilan individu untuk menghadapi tuntutan zaman. Namun, pendidikan yang efektif tidak hanya berfokus pada aspek akademik semata, melainkan juga mempertimbangkan konteks budaya setempat.

Di wilayah Riau, khususnya, budaya Melayu memiliki pengaruh yang mendalam terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, riset pendidikan berbasis budaya Melayu menjadi relevan untuk dieksplorasi dalam Program Pendidikan Doktor di FKIP Universitas Riau.

Tulisan singkat ini mengulas sekilas pemikiran tentang  pentingnya riset pendidikan berbasis budaya Melayu dan bagaimana riset ini dapat menjadi pilar penting dalam mempertegas kekhasan Program Pendidikan Doktor di FKIP Universitas Riau.

Provinsi Riau memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam. Budaya Melayu telah menjadi karakteristik utama di wilayah ini. Peninggalan budaya tersebut mencakup bahasa, adat istiadat, seni, musik, dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat. Oleh karena itu, memahami budaya Melayu bukan hanya tentang memelihara tradisi, tetapi juga menghargai dan memanfaatkannya dalam konteks pendidikan.

Riset pendidikan berbasis budaya Melayu dapat membantu melestarikan identitas budaya lokal di tengah arus globalisasi. Pendekatan ini memungkinkan Mahasiswa Calon Program Pendidikan Doktor dapat lebih memahami kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan menghasilkan solusi yang dapat diterapkan secara efektif dalam konteks tersebut.

Pendidikan yang mencakup nilai-nilai dan tradisi budaya akan membantu generasi muda memahami akar budaya mereka dan mengembangkan rasa bangga terhadap identitas budaya Melayu. Konsep ini menekankan pentingnya melakukan penelitian yang berakar pada konteks lokal, tetapi memiliki dampak dan keterkenalan yang meluas hingga tingkat global.

Pendidikan yang diintegrasikan dengan budaya Melayu dapat membantu kontekstualisasi pembelajaran. Materi-materi pelajaran dapat dihubungkan dengan contoh-contoh lokal yang dapat lebih mudah dipahami oleh siswa. Hal ini juga membantu mengatasi kesenjangan antara kurikulum formal dan realitas budaya setempat.

Dengan berfokus pada penelitian yang berkaitan dengan isu-isu lokal, program pendidikan doktor di FKIP Universitas Riau dapat memberdayakan masyarakat lokal dengan solusi-solusi yang berkelanjutan dan kontekstual. Penelitian yang dapat diterapkan dalam lingkungan sekitar akan membantu mengatasi tantangan-tantangan nyata yang dihadapi oleh masyarakat.

Pendidikan yang berbasis budaya Melayu dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar. Materi yang relevan dengan konteks budaya akan memotivasi siswa untuk belajar dengan lebih antusias. Ini juga dapat meningkatkan minat mereka dalam menggali lebih dalam mengenai budaya dan warisan lokal.

Budaya Melayu memiliki nilai-nilai etika, seperti sopan santun, kejujuran, dan rasa hormat terhadap orang tua. Pendidikan yang berbasis budaya dapat membantu membentuk karakter siswa dengan nilai-nilai tersebut, membawa dampak positif dalam pembentukan kepribadian yang baik.

Riset dapat dilakukan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya Melayu ke dalam pembelajaran. Dengan demikian, iset pendidikan berbasis budaya Melayu memiliki potensi untuk mendukung pengembangan pendidikan yang lebih relevan, kontekstual, dan bermakna di wilayah Riau.

Dalam konteks Program Pendidikan Doktor di FKIP Universitas Riau, riset ini dapat menjadi landasan kuat untuk pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, dan pendekatan pendidikan yang lebih baik. Dengan memanfaatkan kekayaan budaya Melayu, kita dapat membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang identitas budaya mereka sambil tetap relevan dalam era globalisasi.

Integrasi budaya lokal dalam penelitian Disertasi Program Pendidikan Doktor di FKIP Universitas Riau bukan hanya tentang mengamati, tetapi juga menghormati dan merespons dengan bijaksana aspek-aspek budaya yang membentuk masyarakat lokal. Dengan pendekatan ini, penelitian Anda dapat memiliki dampak yang lebih luas dan relevan di tingkat global. ***

 

 

 

Kemerdekaan dan Kebebasan Akademik

By L.N. Firdaus

Pengajar Filsafat Ilmu Program Magister Pendidikan Biologi dan Filsafat Pendidikan Program Doktor Pendidikan, FKIP Universitas Riau

 

Perguruan tinggi merupakan pusat kegiatan pendidikan dan penelitian yang menjadi peneraju utama perkembangan intelektual dan sosial suatu masyarakat. Di dalam konteks ini, konsep kemerdekaan akademik dan kebebasan akademik mendominasi percakapan dan membentuk pelantar akademik fundamental bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Kemerdekaan akademik mengacu pada hak dan kebebasan individu, terutama dosen dan mahasiswa, untuk mengejar penelitian, pemikiran, dan gagasan tanpa adanya tekanan atau campur tangan yang tidak semestinya. Pirsig (1984) menggambarkan kemerdekaan akademik sebagai potret penting dari proses pembelajaran dan eksplorasi ilmiah. Ini melibatkan kemampuan individu untuk memilih metode pembelajaran, mengembangkan kurikulum, dan mengambil inisiatif dalam mencari pengetahuan baru.

Kemerdekaan akademik memiliki nilai intrinsik yang mendalam dalam konteks pengembangan intelektual dan pribadi. Tanpa kemerdekaan ini, masyarakat akademik mungkin terjebak dalam pemikiran homogen dan stagnasi ilmiah. Oleh karena itu, memastikan kemerdekaan akademik berarti mendorong keragaman ide, pandangan, dan pendekatan di dalam perguruan tinggi.

Namun, kemerdekaan akademik juga harus diikat oleh tanggung jawab etika dan moral (Smith, 2008). Kemampuan untuk mengejar penelitian dan pemikiran yang bebas harus diimbangi dengan kesadaran akan implikasi etika dalam melaksanakan penelitian, berbagi hasil, dan berinteraksi dengan masyarakat luas.

Sementara kemerdekaan akademik menekankan pada hak individu untuk menjalani penelitian dan pembelajaran tanpa intervensi, kebebasan akademik mengambil dimensi yang lebih luas. Menurut UNESCO (1997), kebebasan akademik mencakup hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan pengetahuan secara bebas. Ini mencakup kemampuan untuk berbicara, menulis, dan berpartisipasi dalam diskusi tanpa takut represi atau pembatasan.

Kebebasan akademik juga melibatkan tanggung jawab perguruan tinggi terhadap masyarakat di luar kampus. Dalam pandangan Knight (2006), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan berkontribusi pada solusi masalah masyarakat melalui penelitian yang bermakna dan pengabdian kepada masyarakat. Ini menciptakan hubungan yang erat antara kebebasan akademik dan tanggung jawab sosial.

Kemerdekaan dan kebebasan akademik seringkali saling berkelindan dan berinteraksi dalam lingkungan perguruan tinggi. Kemerdekaan akademik memberi individu kemampuan untuk menjalani penelitian dan pemikiran bebas, yang pada gilirannya dapat memengaruhi konteks diskusi dan kritik yang terjadi dalam kebebasan akademik.

Dalam diskusi akademik yang bebas, berbagai pandangan dan sudut pandang dapat dikemukakan tanpa rasa takut. Ini mendorong perkembangan pemikiran kritis, memicu debat yang konstruktif, dan memperkaya dialog ilmiah. Sebaliknya, kebebasan akademik dapat memastikan bahwa kemerdekaan individu untuk mengejar penelitian dan pembelajaran tidak terhalang oleh pembatasan politik atau ideologis.

Perbedaan dan interaksi antara kemerdekaan dan kebebasan akademik memiliki implikasi yang mendalam dalam pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi. Kemerdekaan akademik dapat merangsang kecerdasan inovasi dan pemikiran kreatif, menghasilkan penelitian yang mendalam dan orisinal. Namun, tanpa kebebasan akademik yang memadai, hasil penelitian dan pemikiran ini mungkin tidak dapat disebarluaskan dengan bebas.

Kebebasan akademik, di sisi lain, dapat menciptakan lingkungan belajar yang terbuka dan mendukung pengembangan berpikir kritis. Ini juga dapat membantu perguruan tinggi berperan dalam mengatasi masalah sosial dan berkontribusi pada pembentukan opini publik yang berdasarkan bukti dan pengetahuan ilmiah.

Dengan demikian,   kemerdekaan akademik memberikan ruang bagi individu untuk mengejar penelitian dan pembelajaran tanpa campur tangan yang tidak semestinya, sementara kebebasan akademik mencakup hak individu untuk berbicara, berpendapat, dan berpartisipasi dalam diskusi terbuka.

Keduanya merupakan pilar penting dalam membentuk budaya akademik yang dinamis, beragam, dan berintegritas. Tanpa kemerdekaan akademik, laju inovasi dan eksplorasi ilmiah akan tersendat-sendat, sementara tanpa kebebasan akademik, hasil penelitian dan gagasan mungkin terjebak dalam lingkup terbatas.

Karena itu, memahami perbedaan dan interaksi antara kemerdekaan dan kebebasan akademik adalah krusial dalam menjaga kualitas dan integritas pendidikan tinggi. Dengan menghormati keduanya dan menjunjung tinggi tanggung jawab etika dan sosial, kita dapat memastikan bahwa perguruan tinggi tetap menjadi tempat di mana pengetahuan dan pemikiran bebas dapat berkembang dengan subur di Taman Akademos ala Plato.

Sempena peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 yang kita peringati hari ini, refleksi aksiologis kemerdekaan dan kebebasan akademik di seluruh perguruan tinggi di tanah air akan memiliki signifikansi terhadap pembangunan, pendidikan, pemecahan masalah, pemajuan budaya, dan perkembangan generasi pemangkin peradaban yang maju, unggul, dan bermartabat.

Dengan memahami dan memanfaatkan sepenuhnya nilai-nilai kemerdekaan dan kebebasan akademik, Perahu Gigantik Indonesia dapat terus melaju maju menuju negara yang berbasis ilmu pengetahuan, berkebudayaan, dan berdaya saing global. Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia, Merdeka lah selama-lamanya…!

Kemerdekaan yang Terpasung

By L.N. Firdaus

Alumni PPSA/VI 2009, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI)

 

INSYA ALLAH tiga hari lagi kita akan merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke 78 dengan gegap gempita dan rasa suka cita yang meletup-letup. Antusiasme itu dapat diamati dari kesibukan warga  mendandan jalan-jalan dengan umbul-umbul, pintu gerbang utama. Setidaknya itu yang kami lakukan di RT 01/RW 06, Perumahan Delima Puri, Kelurahan Tobekgodang, Kecamatan Binawidya, Pekanbaru.

Kemerdekaan telah lama dianggap sebagai hak asasi manusia yang mendasar, di mana individu atau bangsa memiliki otonomi untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan kehendak mereka tanpa campur tangan yang tidak diinginkan.

Namun, ada situasi di mana kemerdekaan tampaknya terpasung atau terbatas, menghadirkan tantangan yang kompleks dan memicu refleksi mendalam tentang arti sejati dari kemerdekaan itu sendiri.

Salah satu contoh paling mencolok dari kemerdekaan yang terpasung adalah dalam konteks sistem pemerintahan otoriter. Di bawah rezim otoriter, warga negara sering kali memiliki keterbatasan dalam hal partisipasi politik dan ekspresi bebas.

Kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengemukakan pendapat sering kali dibatasi atau bahkan dihukum. Meskipun demikian, banyak kasus menunjukkan bahwa keinginan untuk merdeka dan perubahan masih tetap hidup, meski harus menghadapi risiko dan konsekuensi yang serius.

Dalam konteks ekonomi, kemerdekaan juga dapat terasa terpasung akibat ketidaksetaraan yang ekstrem. Ketika sebagian besar penduduk mengalami kesulitan ekonomi dan tidak memiliki akses yang sama terhadap peluang, pendidikan, dan layanan dasar, kemerdekaan mereka untuk mencapai potensi tertentu akan terbatas secara signifikan.

Pengaruh kuat dari kelompok-kelompok elit yang mengontrol sumber daya dan kekayaan dapat membuat sebagian besar masyarakat merasa terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit dipecahkan. Joseph E. Stiglitz menggunakan istilah “The Paradox of Plenty”; negeri yang mengalami “kutukan sumberdaya alam”. Negeri yang kaya minyak, tapi sering mengalami krisis BBM. Negeri yang pinggangnya dikelilingi laut tapi ikan dan garam masih terus harus mengimpor.

Otonomi kampus di perguruan tinggi di republik ini juga masih terpasung dengan kawat berduri suara menteri plus administrasi yang kian hari kian kemaruk menjadi-jadi.

Perkembangan teknologi digital jugs membawa tantangan baru terhadap kemerdekaan, terutama dalam hal kemerdekaan informasi. Sementara internet memberikan akses luas terhadap informasi, platform media sosial, dan alat komunikasi, kita juga menyaksikan penyebaran disinformasi, peretasan data, dan pemantauan oleh pemerintah dan korporasi.

Ini bisa menghasilkan perasaan kemerdekaan yang semu, di mana individu mungkin merasa terhubung dan memiliki akses informasi, tetapi sebenarnya mereka terpapar pada manipulasi dan kontrol yang tersembunyi.

Jangan lupa bahwa kemerdekaan juga memiliki dimensi budaya dan identitas. Beberapa kelompok masyarakat mungkin merasa terpasung dalam aspek budaya mereka oleh dominasi budaya mayoritas atau penindasan budaya oleh kebijakan pemerintah. Ini bisa mengancam perasaan identitas dan otonomi budaya, dan dalam beberapa kasus, mendorong gerakan-gerakan pembebasan budaya.

Terpasungnya kemerdekaan memiliki dampak sosial yang signifikan, termasuk meningkatnya ketidakpuasan masyarakat, ketidakstabilan politik, dan potensi konflik.

Namun, kisah-kisah perjuangan di seluruh dunia juga menunjukkan bahwa manusia memiliki ketahanan yang luar biasa (resilience) dalam menghadapi rintangan terhadap kemerdekaan mereka. Perjuangan ini dapat memicu gerakan perubahan, menginspirasi kolaborasi lintas batas, dan akhirnya mengarah pada pemulihan kemerdekaan yang lebih besar.

Dalam mengejar kemerdekaan yang sejati, penting bagi masyarakat untuk merangkul nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan inklusivitas. Peningkatan pendidikan, partisipasi politik, dan kesadaran akan hak-hak individu dapat membantu mengatasi tantangan kemerdekaan yang terpasung. Selain itu, pengembangan teknologi yang bertanggung jawab dan etis juga dapat membantu memastikan bahwa kemerdekaan informasi tetap utuh dalam era digital.

Pentingnya kemerdekaan yang sejati tidak boleh diremehkan. Meski terkadang mungkin terasa terpasung, semangat kita untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya dan membangun masyarakat yang adil dan inklusif tetap menginspirasi perjuangan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Selamat menyambut HUT Kemerdekaan RI ke 78, semoga Indonesia tetap jaya. Merdeka..!

Lokomotif Sekolah Penggerak

By L.N. Firdaus

Direktur Eksekutif  Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Universitas Riau

 

Pendidikan memainkan peran sentral dalam pengembangan suatu masyarakat dan negara. Di dalamnya, guru memiliki peran utama sebagai agen perubahan dalam memberikan pengajaran yang efektif dan berdampak pada perkembangan generasi penerus.

Keberhasilan Implementasi kebijakan Sekolah Penggerak sangat bertumpu pada peran guru sebagai lokomotif penarik gerbong sekolah sebagai Lembaga pendidikan yang transformatif.

Tulisan ini menganalisis urgensi transformasi minda guru serta menghubungkannya dengan keberhasilan implementasi kebijakan Sekolah Penggerak dalam konteks isu kontemporer pendidikan Indonesia saat ini dalam bingkai kebijakan Guru dan Sekolah Penggerak.

Transformasi minda guru mengacu pada perubahan paradigma, sikap, dan pemikiran yang dilakukan oleh para pendidik dalam menghadapi perkembangan pesat dalam dunia pendidikan.

Perubahan minda ini mencakup peningkatan kompetensi pedagogis, penguasaan teknologi, kreativitas dalam pengajaran, dan pemahaman mendalam terhadap metode pembelajaran modern.

Dalam konteks globalisasi dan revolusi industri 4.0, transformasi minda guru menjadi sangat penting agar mereka dapat mempersiapkan generasi penerus untuk menghadapi tantangan masa depan.

Sejumlah tuas penggerak (driving forces) Transformasi Minda Guru untuk menggerakkan lokomotif perubahan patut menjadi fokus penguatan.

Pertama, Peningkatan Kompetensi.  Guru perlu terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka agar tetap relevan dalam memberikan pengajaran yang berkualitas. Pelatihan dan pengembangan profesional yang berkesinambungan akan membantu guru mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia pendidikan.

Kedua, Penguasaan Teknologi.  Penggunaan teknologi dalam pembelajaran dapat meningkatkan interaksi guru-siswa dan membuka akses ke sumber daya pembelajaran yang lebih luas. Guru perlu memahami dan mengintegrasikan teknologi ke dalam praktik pengajaran mereka.

Ketiga, Kreativitas dalam Pembelajaran.  Transformasi minda guru melibatkan pengembangan kreativitas dalam merancang strategi pembelajaran yang menarik dan efektif. Guru perlu berpikir out-of-the-box untuk menciptakan lingkungan belajar yang inspiratif.

Keempat, Pemahaman Mendalam terhadap Metode Pembelajaran Modern. Guru harus memahami berbagai pendekatan dan metode pembelajaran modern, seperti pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan inkuiri. Hal ini akan membantu mereka mengajarkan keterampilan abad ke-21 kepada siswa.

Kebijakan Sekolah Penggerak adalah upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui pendekatan yang berfokus pada peningkatan kinerja sekolah, guru, dan siswa. Dalam konteks transformasi minda guru, kebijakan ini memiliki potensi untuk memantik perubahan yang positif dalam praktik pengajaran dan pembelajaran di tingkat sekolah.

Otoritas pengambil kebijakan di bidang pendidikan nasional perlu mencermati dan mengendaliukan sejumlah faktor penentu keberhasilan transformasi sekolah penggerak (critical success factors).

Pertama,  penguatan kompetensi guru penggerak.  Kebijakan Sekolah Penggerak harus memberikan dukungan yang memadai kepada guru dalam mengembangkan kompetensi mereka. Ini termasuk pelatihan, bimbingan, dan akses ke sumber daya pembelajaran yang diperlukan.

Kedua, mendorong kolaborasi dan pertukaran pengalaman. Kebijakan ini dapat menciptakan peluang bagi guru-guru untuk berkolaborasi, berbagi pengalaman terbaik, dan belajar satu sama lain. Ini dapat memperkaya pengetahuan dan keterampilan guru dalam mempraktikkan metode pembelajaran modern.

Ketiga, monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan.  Keberhasilan implementasi kebijakan perlu diukur secara terus-menerus melalui sistem monitoring dan evaluasi yang efektif. Hal ini akan membantu mendeteksi perubahan positif dalam transformasi minda guru dan memastikan kelangsungan upaya perubahan.

Tentu saja selalu ada sejumlah tantangan dalam setiap proses transisi perubahan dari budaya sekolah lama ke budaya sekolah baru. Melalui penguatan kepemimpinan transformatif kepala sekolah penggerak, kerentanan psikologis yang amat rapuh di zona transisi itu akan dapat dikelola secara bijak.

Resistensi terhadap Perubahan merupakan perkara yang paling krusial di hampir semua perubahan yang diupayakan, baik pada Lembaga profit maupun non profit. Sejumlah guru mungkin masih mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan tiba-tiba akibat dari kebijakan dadakan. Karenanya diperlukan pendekatan komunikatif yang efektif dan dukungan yang berkelanjutan untuk mengatasi resistensi ini.

Persoalan psikologis klasik lain adalah menyangkut keterbatasan sumber daya.  Perkara ini teramat sangat ramai dikeluh-kesahkan. Implementasi kebijakan memerlukan alokasi sumber daya yang memadai, termasuk dana, fasilitas, dan pelatihan. Tantangan ini harus diatasi agar kebijakan dapat berjalan dengan sukses.

Selebihnya adalah persoalan efektivitas koordinasi proyek perubahan. Kebijakan Sekolah Penggerak melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Koordinasi yang efektif diperlukan untuk memastikan semua elemen bekerja bersama untuk mencapai tujuan transformasi pendidikan.

Melalui dukungan yang memadai, kolaborasi yang kuat, dan monitoring yang berkelanjutan, transformasi minda guru adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan implementasi kebijakan Sekolah Penggerak Indonesia untuk menarik gerbong pendidijan nasional yang semakin sarat dengan masalah integritas ketimbang perkara remeh temeh lainnya.

Kalau tak berangkat alias tak bergerak, maka pasti lokomotif sekolah penggerak itu tak akan pernah sampai. Jadi, bergerak lah…

Minda Pembelajar Sejati

By L.N. Firdaus

Direktur Eksekutif  Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Universitas Riau

Di era persaingan yang semakin ketat ini, belajar bukan lagi batasan yang terpaku pada lingkungan kelas dan buku teks.

Semua orang memiliki akses ke pengetahuan yang melimpah melalui internet dan berbagai sumber informasi. Namun, menjadi pembelajar sejati bukanlah sekadar mengumpulkan informasi, tetapi lebih pada bagaimana individu mengelola, menerapkan, dan terus berkembang dari pengetahuan tersebut.

Pembelajar sejati adalah mereka yang tidak hanya belajar untuk memenuhi tuntutan akademis atau pekerjaan, tetapi juga untuk pertumbuhan pribadi dan peningkatan kualitas hidup sepanjang hayat dikandung badan.

Di era disruptif yang lekas berubah, tak menentu, kompleks, dan membingungkan ini, kemampuan transformasi diri menjadi pembelajar sejati dengan kemahiran tingkat tinggi, lincah, dan ulet merupakan aset berharga dalam mengarungi samudera kehidupan.

Dengan modal itu, Pembelajar Sejati akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin mencabar. Pembelajar sejati selalu ingin tahu lebih banyak. Mereka rajin bertanya, mengeksplor, dan menggali lebih dalam untuk memahami konsep-konsep dengan lebih baik.

Seorang pembelajar sejati memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri. Mereka tidak hanya bergantung pada pengajaran formal, tetapi juga mampu mencari dan mengevaluasi sumber informasi sendiri.

Kemampuan untuk memproses informasi dengan pemikiran kritis adalah ciri penting dari seorang pembelajar sejati. Mereka mampu menganalisis, mengevaluasi, dan menghubungkan informasi dari berbagai sumber.

Dalam dunia yang berubah cepat, pembelajar sejati harus lincah sehingga mampu beradaptasi dengan situasi baru dan berbeda-beda, serta mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.

Seorang pembelajar sejati tidak hanya terpaku pada teori, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam situasi nyata.

Pembelajar sejati senang berbagi pengetahuan dengan orang lain. Mereka tahu bahwa berbagi dapat memperdalam pemahaman mereka dan juga memberi dampak positif pada orang lain.

Proses belajar terkadang memang sulit dan memerlukan kesabaran. Pembelajar sejati biasanya memiliki kemauan untuk terus mencoba meskipun menghadapi hambatan.

Ada banyak pilihan strategi untuk menjadi pembelajar sejati asalkan mau bertungkus-lumus, berhempas-pulas, dan berpeluh-penat.

Pertama, memantapkan tujuan belajar.  Pastikan tujuan Anda belajar, apakah untuk pengembangan karier, pemahaman pribadi, atau tujuan lainnya. Tujuan yang jelas akan membimbing upaya belajar Anda.

Kedua, buat rencana belajar. Rencana belajar yang terstruktur untuk mencapai tujuan Anda. Pilih metode belajar yang sesuai, seperti membaca, menonton video, mengikuti kursus, atau berdiskusi dengan pakar.

Ketiga, belajar secara aktif. Jangan hanya menerima informasi, tetapi coba aplikasikan dalam bentuk latihan atau proyek kecil. Belajar secara aktif akan memperkuat pemahaman dan ingatan.

Keempat, mengembangkan keterampilan belajar. Pelajari cara belajar yang efektif, seperti membuat catatan, merangkum materi, atau mengorganisir informasi dengan diagram.

Kelima, jadilah bagian dari komunitas belajar. Bergabunglah dengan kelompok studi atau forum online terkait subjek yang Anda pelajari. Berdiskusi dengan orang lain dapat membantu Anda melihat sudut pandang yang berbeda.

Keenam, evaluasi diri dan refleksi. Secara teratur evaluasi kemajuan Anda sendiri. Apa yang sudah Anda pelajari? Di mana Anda bisa lebih baik? Refleksi ini membantu Anda menyesuaikan rencana belajar Anda.

Ketujuh, berfokus pada kualitas, bukan kuantitas. Lebih baik belajar dengan mendalam (deep learning)  pada beberapa topik daripada mencoba menyerap terlalu banyak informasi tanpa pemahaman yang kuat.

Pembelajar sejati adalah individu yang memandang belajar sebagai cara hidup (way of life). Persona dengan minda bertumbuh (growth mindset) ini senantiasa menggali pengetahuan dan keterampilan dengan niat tulus untuk pertumbuhan dan pengembangan diri.

Dengan rasa ingin tahu yang kuat, kemandirian, pemikiran kritis, dan kemampuan untuk beradaptasi, siapapun dapat menjadi pembelajar sejati yang sukses dan sigap menghadapi cabaran apapun dengan penuh semangat, sekuat dan sehabis daya.

Ulet bukan sekedar sabar, pasif, apatis, pasrah, dan bertahan.  Ulet adalah tekad yang mengandung sikap antusias, gigih, tegar, proaktif, dan  pantang menyerah!

Sebelum kita mengubah  cara berfikir sebagai Pembelajar Sejati, maka kita belum layak disebut berhasil menjadi Powerful Agile Learner..!

Apa tanda pembelajar sejati,

belajarnya tekun sepenuh hati.

 

Apa tanda pembelajar beradat,

menuntut ilmu hatinya bulat.

 

Apa tanda pembelajar bertuah,

menuntut ilmu tahan bersusah.

 

Apa tanda pembelajar berdaya,

menuntut ilmu sehabis daya.

 

Apa tanda pembelajar sejati,

Belajarnya tekun sampai mati..!

 

Anak Indonesia

By L.N. Firdaus

 

TIGA hari lalu (23 Juli), Indonesia merayakan Hari Anak Nasional (HAN) sebagai penghormatan terhadap generasi muda negara ini, harapan masa depan bangsa yang akan meneruskan tongkat estafet peradaban dan kemajuan.

Peringatan ini mengingatkan kita akan pentingnya melindungi, menghargai, dan memberikan perhatian khusus pada anak-anak, yang merupakan aset berharga bagi kemajuan bangsa.

HAN bukan sekadar momen perayaan atau liburan bagi para siswa di sekolah-sekolah. Lebih dari itu, peringatan ini seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua untuk merefleksikan peran penting anak-anak dalam masyarakat dan bagaimana kita dapat ikut berkontribusi dalam membentuk masa depan mereka.

Anak-anak adalah pilar utama pembangunan bangsa. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memberikan akses yang merata bagi semua anak Indonesia harus menjadi prioritas. Pendidikan yang berkualitas akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman.

Pemerintah dan masyarakat harus berkomitmen untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran. Kesejahteraan anak harus menjadi perhatian utama, termasuk akses layanan kesehatan yang memadai dan fasilitas pendukung bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Setiap anak, tanpa memandang latar belakang, ras, agama, atau status sosial, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang. Menciptakan lingkungan inklusif yang menghargai keberagaman akan memastikan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang toleran, berempati, dan menghargai perbedaan.

Anak-anak tidak hanya menjadi subyek dari perubahan, tetapi juga bisa menjadi agen perubahan. Melalui pendidikan yang membentuk pemikiran kritis dan sikap proaktif, anak-anak dapat berperan aktif dalam mencari solusi untuk berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa dan dunia.

Sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat, kita memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan yang kondusif  bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. HAN seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa setiap tindakan kita memiliki dampak pada masa depan mereka.

Untuk merengkuh Visi Indonesia Emas 2045 sebagai “Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan”, anak-anak harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masa depan mereka. Mendengarkan aspirasi dan pandangan mereka akan membuka peluang baru dan mendorong kreativitas serta inovasi.

Di era teknologi dan informasi ini, tantangan yang dihadapi oleh anak-anak juga semakin kompleks. Penggunaan teknologi harus bijaksana dan berimbang, dengan memberikan pendampingan dan pengawasan yang tepat untuk melindungi mereka dari potensi dampak negatif.

Bersama-sama, kita dapat menginspirasi dan membentuk Anak Indonesia yang tangguh, cerdas, dan berdaya saing global, yang akan membawa Indonesia merengkuh prestasi dan kemajuan yang gemilang. ***

Transformasi FORKOM FKIP

By L.N. Firdaus

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Alumni FKIP Universitas Riau

 

SUKSESI Kepemimpinan Forum Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri Se-Indonesia (selanjutnya disebut FORKOM FKIP) 2023-2025 merupakan satu dari sejumlah agenda penting dalam kegiatan Pertemuan Puncak Forum Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri Se-Indonesia di Ternate, 6-9 Juli 2023.

FORKOM FKIP merupakan  wadah penting bagi 34 pemimpin FKIP negeri di Indonesia yang diakui  pendiriannya oleh Kemenkumham R.I. melalui Surat Keputusan Nomor: AHU-0011544.4H.01.07.TAHUN 2018 tanggal 20 September 2018.  Forum ini bertujuan untuk saling bertukar gagasan, pengalaman, dan informasi guna memperkuat kepemimpinan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum.

Dalam rangka mewujudkan visinya untuk “Menjadi Platform Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri Se-Indonesia yang AKRAB (Aspiratif, Komunikatif, Responsif, Adaptif, dan Berwibawa)” , maka transformasi kelembagaan secara berkelanjutan merupakan keharusan agar ianya tetap relevan dan kompatibel dengan dinamika Revolusi Industri 4.0 yang Volatile, Uncertainty, Complex, dan Ambigu (VUCA). Transformasi ini akan mengarahkan FORKOM FKIP menjadi lebih efektif dan efisien dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya.

Transformasi FORKOM FKIP dapat  diperkasa  dengan menekankan pentingnya sifat aspiratif dalam setiap interaksi dan kegiatan forum. Dalam konteks ini, aspiratif mengacu pada kemampuan untuk mendorong pemimpin FKIP dalam memperjuangkan tujuan bersama yang lebih bermakna bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.

Dalam rangka mencapai aspirasi ini, FORKOM FKIP harus mengembangkan mekanisme yang memungkinkan para pemimpin FKIP untuk berbagi gagasan, visi, dan misi mereka. Diskusi terbuka, perumusan tujuan jangka panjang, dan pengembangan program kerja yang berorientasi pada perbaikan pendidikan akan menjadi langkah-langkah strategis-futuristik.

FORKOM FKIP  harus menjadi forum komunikasi yang komunikatif, di mana saling mendengarkan dan berkomunikasi secara efektif adalah prinsip utama. Selain itu, penggunaan teknologi komunikasi yang tepat, seperti platform daring dan jejaring sosial, dapat memperluas jangkauan komunikasi dan memperkuat kolaborasi antara para pemimpin FKIP di seluruh Indonesia melalui digital leadership.

Sebagai platform komunikasi pimpinan, FORKOM FKIP   harus memiliki responsibilitas yang tinggi terhadap perubahan dan tantangan yang ada dalam dunia pendidikan. Transformasi FKIP ke depan harus memastikan bahwa forum ini dapat merespons dengan cepat dan tepat terhadap kebutuhan dan harapan para pemangku kepentingan. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan mekanisme yang memungkinkan pengumpulan umpan balik, pemantauan perkembangan, serta identifikasi dan penyelesaian masalah secara kolaboratif.

Transformasi FORKOM FKIP  harus melibatkan kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahan lingkungan pendidikan yang dinamis. Pemimpin FKIP perlu memiliki wawasan yang luas dan keterampilan kepemimpinan yang adaptif. Dalam konteks itu, FORKOM FKIP dapat mengadopsi model dan praktik terbaik yang diterapkan di tingkat nasional dan internasional. Kolaborasi dengan lembaga pendidikan, pemerintah, dan organisasi terkait juga dapat membantu FORKOM FKIP untuk tetap relevan dalam menghadapi perubahan dan tantangan di bidang pendidikan.

Transformasi FORKOM FKIP juga perlu menguatkan citra dan reputasi forum sebagai wadah komunikasi yang berwibawa. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan profesionalisme dan integritas para pemimpin FKIP dalam menjalankan peran dan tanggung jawab kelembagaan. Dalam konteks ini, FORKOM FKIP harus menekankan pentingnya etika kepemimpinan, transparansi, akuntabilitas, dan penerapan tata kelola yang baik. Pengakuan dan apresiasi terhadap prestasi dan kontribusi anggota FORKOM FKIP juga dapat memperkuat citra berwibawa forum tersebut.

Walhasil,  Transformasi FORKOM FKIP Negeri Se-Indonesia adalah langkah penting untuk mewujudkan visi “Menjadi Platform Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri Se-Indonesia yang Aspiratif, Komunikatif, Responsif, Adaptif, dan Berwibawa.”  Dalam transformasi ini, kolaborasi, pembelajaran bersama, dan inovasi akan menjadi faktor kritikal keberhasilan.

Melalui upaya bersama yang “AKRAB”, Insya ALLAH FORKOM FKIP dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk memajukan mutu pendidikan di Indonesia dan mencapai visi yang diusungnya.

Sekalung budi sudah sepatutnya disampaikan kepada Prof. Dr. Mahdum Mohd. Adanan, M.Pd. untuk Kepemimpinan FORKOM FKIP 2021-2023 dan Selamat Berkarya Kepada Prof. Dr. M. Rusdi, S.Pd., M.Sc. -Ketua Terpilih Masa Bhakti 2023-2025.

 

Kalau nak tahu arti sahabat,

Simaklah kisah Hang Tuah-Hang Jebat,

Kalau nak FORKOM FKIP menjadi hebat,

Mari sokong  apa yang pemimpinnya nak buat. 

 

Melawat Kota Rempah

By L.N. Firdaus

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Alumni

FKIP Universitas Riau

 

Alhamdulillah,  hasrat melawat Indonesia Timur dapat terwujud melalui agenda Pertemuan Puncak Forum Komunikasi (FORKOM) Pimpinan FKIP Negeri se-Indonesia, 6-9 Juli 2023 dimana FKIP Universitas Khairun menjadi Tuan Rumah penyelenggara.

Beberapa menit jelang  “Burung Besi GA648” hinggap di  Bandara Sultan Babullah pada pagi Ahad 9 Juli,  yang pertama kali menarik perhatian saya melalui jendela Kursi 23C adalah panorama yang luar biasa memukau.

Kota Ternate, yang sering disebut sebagai “Kota Rempah”, adalah sebuah destinasi yang kaya akan sejarah, keindahan alam, dan budaya yang menarik.

Terletak di Kepulauan Maluku Utara, Indonesia, kota ini telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah penting sejak berabad-abad yang lalu. Kota Rempah Ternate ini merupakan perpaduan antara warisan sejarah dan pesona alam yang menakjubkan.

Pulau ini dikelilingi oleh perbukitan hijau yang subur dan lautan yang biru. Pemandangan alam yang memukau ini mengingatkan saya betapa luar biasanya kekayaan alam Indonesia.

Kehadiran Gunung Gamalama yang menjulang memberikan latar belakang yang sempurna untuk keindahan pulau ini.

Peninggalan sejarah yang terlihat di mana-mana mengingatkan saya akan peran strategis Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah pada masa kolonial.

Dapat dibayangkan betapa sibuknya pelabuhan ini pada masa lalu, dengan kapal-kapal asing yang datang dari berbagai belahan dunia untuk berdagang.

Tidak hanya bersejarah, Ternate juga memiliki budaya yang unik dan menarik. Mengunjungi pasar tradisional di Kota Rempah kita dapat merasakan kehidupan sehari-hari penduduk setempat.

Aroma rempah-rempah yang harum dan keramaian pasar menciptakan suasana yang hidup dan menggugah selera.

Selain pesona alam dan warisan sejarahnya, pembangunan dan modernisasi di Ternate telah membawa perubahan yang signifikan.

Saya berharap agar tetap ada kesadaran yang kuat akan pelestarian lingkungan, memelihara warisan berharga, dan keberlanjutan dalam pengembangan kota rempah yang telah mendunia ini. Semoga Ternate tetap menjadi tujuan yang menarik bagi wisatawan dan tetap memancarkan keindahannya sebagai salah satu permata Indonesia. ***

 

Memburu rusa di padang gurun,

Rusa  berdarah terkena tombak

Luar biasa sungguh  FKIP Universitas Khairun,

Sukses Menghelat Pertemuan Puncak.

 

Sultan Ternate terkenal hebat,

Pemimpin Adil Bijak Bestari,

Tantangan FKIP ke depan semakin hebat,

Digitilisasi dan otomatisasi tak mungkin dihindari.

 

Rempah ternate sangat terkenal,

Jadi incaran berbilang bangsa,

Manfaatkan Forum ini dengan maksimal,

Untuk kemajuan pendidikan Indonesia

Mahasiswa Transformer

by L.N. Firdaus

 

Di era digital yang serba cepat ini, kemajuan teknologi telah membawa perubahan disruptif dalam hampir semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Salah satu tren terkini yang menarik perhatian adalah peran mahasiswa transformer dalam menghadapi tantangan masa depan.

Sebagai hasil dari revolusi teknologi, mahasiswa transformer adalah generasi yang memiliki keahlian khusus dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan pembelajaran dan produktivitas mereka.

Mereka adalah mahasiswa yang memiliki pemahaman mendalam tentang perangkat keras, perangkat lunak, dan aplikasi yang dapat membantu mereka dalam mengatasi tugas-tugas akademik dan mengembangkan potensi mereka secara maksimal.

Salah satu ciri utama mahasiswa transformer adalah kemampuan mereka dalam mengolah dan menganalisis data. Mereka memiliki keterampilan di bidang pengolahan data, termasuk kemampuan menggunakan algoritma dan model machine learning untuk menganalisis informasi dan membuat prediksi. Dalam lingkungan yang semakin terhubung secara digital, kemampuan ini menjadi sangat berharga dalam menghadapi tantangan kompleks di berbagai bidang studi.

Selain itu, mahasiswa transformer juga terampil dalam menggunakan perangkat lunak dan aplikasi terkini. Mereka mampu mengoptimalkan penggunaan berbagai alat dan platform digital untuk memperluas pemahaman mereka, berkomunikasi dengan efektif, dan mengatur waktu dengan bijak. Dalam dunia yang terus berubah dan serba cepat, adaptabilitas dan kemampuan untuk menguasai alat-alat baru adalah kunci sukses bagi mahasiswa transformer.

Tak hanya itu, mahasiswa transformer juga memiliki keahlian dalam berkolaborasi secara virtual. Mereka mampu bekerja dalam tim yang terdiri dari anggota yang berbeda lokasi geografisnya dan berbagi pengetahuan melalui platform digital. Keterampilan ini sangat berharga dalam dunia kerja saat ini, di mana kerja tim sering melibatkan anggota yang terpisah secara geografis.

Namun, menjadi mahasiswa transformer bukan hanya tentang menguasai teknologi semata. Mereka juga memiliki sikap yang proaktif dan kreatif dalam memecahkan masalah. Mereka melihat tantangan sebagai peluang untuk mengembangkan diri, berinovasi, dan menciptakan solusi yang unik. Kemampuan ini diperlukan untuk menghadapi perubahan yang cepat dan tantangan yang kompleks di dunia nyata.

Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan harus mempersiapkan mahasiswa transformer dengan kurikulum yang relevan. Materi pembelajaran harus mencakup pengembangan keterampilan teknologi informasi, pengolahan data, pemecahan masalah, dan kemampuan berkolaborasi.

Selain itu, perguruan tinggi juga harus memberikan lingkungan yang mendukung pengembangan mahasiswa transformer, termasuk akses terhadap perangkat keras dan perangkat lunak terkini, ruang kerja kolaboratif, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan teknologi mutakhir.

Mahasiswa transformer adalah generasi unggul yang siap menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Dengan keahlian teknologi dan sikap yang proaktif, mereka memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif dalam berbagai bidang.

Oleh karena itu, pendidikan harus terus beradaptasi untuk mempersiapkan mereka dengan baik, agar dapat menciptakan masa depan yang lebih baik melalui kemampuan mereka sebagai mahasiswa transformer. ***

 

 

Mengasah Pikiran dan Perasaan

By L.N. Firdaus

 

“Yang dinamakan Pendidikan itu adalah tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya Pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.” – Ki Hadjar Dewantara (1977: 20)

 

Syahdan, Dr Saberina@Kolega dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau wrote on January 21, 2022@WAG LPPM Vol 1:

 “Menjemput @L.N. Firdaus untuk menulis dan menshare di grup WA kita ini…. Pendidikan itu Mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan …. “

Pertanyaan tingkat tinggi yang mendasar ini sebetulnya sudah diberikan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagaimana  saya kutipkan di atas.

Secara Ontologis, hakikatnya pendidikan itu adalah memanusiakan manusia. Fitrah kemanusiaan anak didik sudah terberi oleh Tuhan dalam wujud tiga potensi: cipta (pikiran), karsa (psikis/rasa/), dan raga (fisik).

Secara epistemologis-yuridis, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, Ayat (1):

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”

Perihal mengasah pikiran sudah saya ulas selayang pandang di https://www.lamanriau.com/2022/01/23/batu-asah/

Selebihnya tinggal refleksi diri atas praktik pembelajaran yang kita amalkan. Apakah pembelajaran yang kita aktualisasikan mampu membangkitkan suasana belajar dan proses pembelajaran” yang mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan mereka?. Apakah pertanyaan-pertanyaan (questions) yang kita ajukan kepada Mahasiswa mampu mengasah daya kritis dan memperhalus perasaan akal budi?

Pertanyaan dangkal (shallow question) rasa-rasanya sukar menghasilkan mahasiswa HOT (High Order Thinking) sebagi pisau berfikir kritis keterampilan Abad 21. Pertanyaan dangkal hanya berpotensi menghasilkan lulusan dengan bekal pisau berfikir tidak kritis alias tumpul. Hanya berguna untuk mengupas persoalaan sederhana (simple problem) di “Universitas Kematian”.

Ianya kurang berdaya guna untuk menghadapi persoalan rumit (complex problems) di “Universitas Kehidupan” yang bersifat VUCA (Volatile, Uncertainty, Complex, Ambigue). Inilah agaknya rasional kebijakan MBKM yang menggalakkan pembelajaran Case-based Method dan Problem-based Learning untuk menantang Mahasiswa dan Dosen berfikir tingkat tinggi dan mendalam itu.

Ada juga Dosen yang berdalih bahwa boro-boro mengajukan Pertanyaan Dalam (deep questions). Pertanyaan dangkal saja sukar dijawab mahasiswa. Bahkan lebih sering mahasiswa diam seribu Bahasa macam asbak atau batu dilempar ke kolam depan Rektorat.  Senyap tak menjawab. Entah paham atau kah tidak.

Namun perlu juga kita mawas diri. Jangan-jangan kita yang kurang terampil membuat dan menyampaikan pertanyaan tingkat tinggi itu. Untuk menghasilkan pertanyaan tingkat tinggi, kita harus berfikir mendalam (deep thinking). Ini yang menguras energi. Sementara energi kita sudah banyak terkuras oleh tuntutan “syahwat” administarif  Tri Dharma Perguruan Tinggi yang semakin menjadi-jadi.

Pada tataran praktis-implementatif (pembelajaran), “usaha sadar dan terencana” itu sudah kita wujudkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang saban semester kita mutakhirkan. Fundamental masalahnya adalah sejauhmana RPP yang sudah dengan susah payah dibuat itu diaktualisasikan dalam  proses pembelajaran”Sudahkah Pendekatan, Model, Strategi, Metode, Teknik, dan Taktik/Kiat yang kita pakai itu betul-betul berorientasi memberdayakan “peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya?”.

Soal memperhalus perasaan? Praksis Pendidikan yang diwujudkan melalui Pengajaran (teaching) lebih mengarah kepada pilar Learning to Know dan Learning to Do.  Untuk memperhalus perasaan, kegiatan mengajar harus lebih menekankan kegiatan mendidik (scholarship of teaching and learning) yang mengarah pada  Leaning to Be dan Learning to Live Together.

Apakah nilai-nilai didikan yang kita tanamkan berhasil membuka minda (mind), hati (heart), nurani (will) sehingga peserta didik “secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”?

Spiritualisasi pembelajaran agaknya amat dibutuhkan agar nilai-nilai Pendidikan (values) yang ditanamkan dapat memperhalus perasaan peserta didik. Tanpa itu, suasana pembelajaran amat lah gersang-kering kerontang,  miskin makna alias kurang berkesan. Yudi Latif (2020) memandang krusialnya Learning to Feel (olah Rasa dan olah Karsa) sebagai pilar emas Ki Hajar Dewantara untuk menyempurnakan empat pilar Pendidikan UNESCO.

Prof. Muhammad NUH (2013) memandang semakin mendesaknya Pedagogi Hati dan Budi Pekerti dalam menyikapi fenomena kegersangan dan kemusyrikan sosial yang semakin memilukan hati. Kegersangan sosial terjadi akibat ketidakseimbangan antara pengembangan kecerdasan akal dan kecerdasan hati.

Hati adalah lokus reaktor transformatif anak didik menjadi manusiawi. Hati adalah umm (Ibu) dari segala kebahagiaan hidup sekaligus menjadi pangkal malapetaka bagi kehidupan manusia. Maka, benarlah tulisan pada Pelakat yang saya peroleh di Pasar Barang Bekas : “A Teacher Takes a Hand, Opens a Mind and Touches A Heart”

Demikianlah  Dr Saberina. Terima kasih telah menajamkan pikiran dan menghaluskan akal budi saya melalui pertanyaan bermutu yang diajukan. Tajamkan jika dirasa masih tumpul.  Haluskan jika dirasa masih kasar.

Schooling Fish dan Schooling students sama-sama digerakkan oleh  hati bukan?

Wallahualam….

Cara Gagal Menjadi Rektor

by L.N. Firdaus

Tak lama lagi Universitas Riau akan menggelar pemilihan Rektor untuk masa kepemimpinan 2022-2026.  Permenristekdikti  Nomor 19 Tahun 2017, Pasal 6, Ayat (1) menyatakan bahwa tahap penjaringan bakal calon dilaksanakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Pimpinan PTN yang sedang menjabat.

Sampai tulisan ini diracik, belum ada memang peminat yang menyatakan diri secara terbuka untuk maju mencalonkan diri.

Kalau secara tertutup, saya sudah mendengar ada beberapa akademisi yang berminat dan merintis jalan untuk meraih suara Senator.

Ada juga yang bergerak di bawah tanah sembunyi-sembunyi hendak mengadang-ngadang calon pujaan hatinya.

Beberapa jajak pendapat tentang bakal calon yang potensial versi publik pun sudah ditebar secara maya sejak Desember 2021.

Tulisan ini saya racik, terkhusus bagi para peminat yang berhasrat kuat hendak menduduki kursi panas pucuk pimpinan UNRI 4.0.

Simak baik-baik pengalaman kegagalan saya. Jangan tiru cara saya ini jikalau betul-betul hendak menjadi Rektor. Dijamin 1000 persen Tuan-tuan atau Puan-puan akan menyesal seumur hidup. Gagal total..!

Tiga belas tahun yang lalu (31 Oktober 2009), di hari terakhir pemasukan berkas lamaran bakal calon Rektor, saya proklamirkan secara terbuka melalui tulisan di Harian Riau Pos (https://proffirdausln.wordpress.com/2009/10/31/transformasi-universitas-riau/).

Tidak ada seorang pun Sivitas Akademika UNRI yang saya bagi tahu bahwa saya akan melamar menjadi Rektor ketika itu, kecuali Istri dan Anak.

Tidak ada seorang pun Senator UNRI yang saya dekati atau saya jamu makan malam di hotel-hotel untuk merayu suara saat pemilihan nanti. Apatah lagi saya karantinakan.

Tidak ada seorang pun hulu balang yang saya utus naik pesawat ke Jakarta untuk melobi 35 persen suara Menteri.

Tidak ada satu pun Anggota DPR RI yang saya hubungi  agar mereka dapat membantu melobi suara Menteri di Jakarta.

Tidak ada satu pun Ormas yang saya approach  agar mereka dapat membantu melobi suara Menteri di Jakarta.

Tidak ada seorang pun Rekan Alumni Lemhannas R1 tahun 2009 yang saya minta tolong melobi suara Menteri di Jakarta.

Saya tidak menggunakan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran untuk kegiatan-kegiatan yang tak sesuai dengan tradisi agung kecemerlangan universitas. Energi saya fokuskan untuk menuangkan visi akademik saya sebagai Calon Rektor yang tak sudi ber-KKN;  perkara haram yang menjadi euforia mahasiswa kala itu.

Pada hari pemungutan suara pemilihan Rektor yang disiarkan secara langsung melalui Riau Televisi itu,  saya persembahkan kehadapan Senator UNRI dua buku yang saya tulis berisi Visi Kepemimpinan Akademik:

  • Transformasi Budaya Akademik Menuju World Class Research University.RUEDC, Pekanbaru (2009) /ISBN 978-979-1222-89-1
  • Towards A Shared Vision on Higher Education: Transformational Academic Leadership, Learning Organization, and Management of Change.RUEDC Pekanbaru (2009), Indonesia (Preface by Prof. Dr. Michael Fremerey, ISOS University of Kassel, Germany) [ ISBN 978-979-1222-10-5]

Luar biasa gemuruh tepuk tangan para Senator UNRI selepas saya menyampaikan visi-misi Calon Rektor kala itu.  Bukan main berbunga-bunga hati saya waktu itu merasa yakin akan meraih suara terbanyak.

De facto? Saya hanya meraih SATU SUARA, yaitu SUARA SAYA SENDIRI ha..ha….

Apakah visi kepemimpinan yang saya tawarkan itu kurang bermutu? Empat tahun sebelum saya memutuskan ikut penjaringan, dalam bukunya “Change!”, Rhenald Kasali (2005) di halaman 272 menuliskan:

“Manajemen perubahan, suka atau tidak suka, harus menyentuh transformasi nilai-nilai. Tanpa menyentuh dan melakukan tranformasi nilai-nilai, manusia-manusia dalam suatu institusi akan tetap melakukan hal-hal sama dengan cara-cara sama seperti yang dilakukan di masa lalu.”

Dua tahun selepas saya mengajukan visi transformasi budaya itu,  terbit Buku “Culture Based Leadership” yang ditulis oleh Herry Thahjono (2011).  Di halaman 78 buku itu dituliskan:

“…proses transformasi budaya (termasuk culture building) merupakan sesuatu yang layak ditempatkan pada perioritas utama kegiatan kepemimpinan dan manajemen.”

Sebelum meninggalkan ruang pemilihan, saya dicegat Wartawan Riau Pos dengan pertanyaan, “Apa komentar Prof atas hasil pemilihan tadi?”

Jawab saya, “ Telah mati hati nurani akademik anggota senat UNRI”.

Demikianlah,  semoga bermanfaat bagi para Bakal Calon Rektor yang memerlukan.

“Belajar dari kegagalan adalah cara meraih kesuksesan”.

Semoga Berjaya..!

 

1 2